Kanal

Pro-Kontra

Populer

Kirim Tulisan

Wamena dan Kematian Orang Padang dan Bugis

Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun. Kita telah berduka besar atas wafatnya 10 orang Padang, 22 orang Bugis dan lainnya, dengan beberapa dibakar, tanggl 23 September lalu, setelah dipanah, dibacok dan dibakar di sebuah pasar di Wamena.

Wamena adalah sebuah kota kecil di wilayah Republik Indonesia, di mana Indonesia adalah negara dengan presidennya adalah Jokowi. Kita tertutupi kejadian keji ini, karena sibuk dengan gerakan mahasiswa di DPR, di pusat ibukota, Jakarta.

Persoalan rusuh Wamena bukanlah perang Tentara dan Brimob melawan pasukan Benny Wenda, ketua Papua Merdeka, maupun kelompok bersenjata OPM. Namun, kekejian ini adalah pembantaian makhluk hidup tak berdosa, rakyat Indonesia di tanah airnya sendiri.

Akar Persoalan

Ketegangan di Papua selama ini membesar karena menyangkut keinginan rakyat Papua untuk merdeka. Pasca insiden di Asrama Papua, di Malang, dan Surabaya, di mana mahasiswa Papua disebut dengan diejek monyet, rakyat Papua bergerak di seluruh tanah mereka meneriakkan merdeka.


Kebencian rakyat Papua selama ini sebenarnya bersumber dari kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi asli. Juga kekerasan HAM yang ditenggarai terus berlangsung dari aparatur, serta kesadaran baru bahwa masuknya Papua ke dalam NKRI pada tahun 1969, melalui Papera (Penentuan pendapat rakyat).

Kesenjangan sosial itu bersifat horizontal, antara masyarakat, masalah HAM bersifat vertikal antara rakyat vs. negara serta kesadaran baru Papua terkait dengan bangkitnya kesadaran regional masyarakat Melanesia di wilayah pasifik.

Ketika masalah rasis mencuat bulan lalu di asrama mahasiwa Papua di Surabaya dan Malang, yang menggerakkan pembangkangan rakyat di Papua, stabilitas Papua mencapai titik terendah. Instabilitas Papua direspon Jokowi dengan mengundang beberapa tokoh Papua ke Istana.

Namun, Gubernur Papua dan beberapa elit Papua menyatakan orang-orang yang diundang Jokowi ke istana tidak mempunyai kredibilitas mewakili persoalan Papua. Pendekatan Jokowi selain dialog tidak refresentatif, Jokowi mengirim Panglima TNI dan Kapolri ke Papua. Panglima dan Kapolri diharapkan dapat meredam gerakan-gerakan rakyat Papua, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal tadi.

Namun, belum sebulan dari kunjungan kedua pimpinan aparatur keamanan ini, Wamena mengalami kerusuhan. Kerusuhan Wamena yang berkarakter kebencian terhadap masyarakat pendatang ternyata tidak diantisipasi atau gagal diantisipasi elemen terpenting negara. Sehingga, pertanyaan kita, apakah masih ada perlindungan yang memiliki kepastian atas nasib orang-orang non Papua di tanah Papua?

Gerakan Rakyat ke Rakyat

Kematian balita 4 tahun dan anak kecil 8 tahun diantara orang yang terbunuh, menunjukkan kebencian rakyat Papua asli terhadap pendatang, berdimensi luas. Kita pernah mengalami kondisi yang sama di masa lalu, ketika orang-orang Jawa diusir dari Aceh, ketika Gerakan Aceh Merdeka, bergolak di Aceh.

Kematian dengan cara penuh kebencian yang dialami orang-orang Padang dan Bugis, menunjukkan bahwa bangsa Padang, Bugis dan bangsa lain non Papua harus mempunyai orientasi baru dalam melindungi diri. Orang-orang Padang, Bugis dll ini harus menulis surat ke PBB agar menghukum Benny Wenda, OPM dan juga pemerintahan Indonesia atas kegagalan melindungi orang-orang sipil tak berdosa. Hal ini untuk mencegah adanya gerakan yang berkatagori genocide, alias pembasmian etnis.

Kebencian rakyat Papua atas pernyataan rasis yang mereka terima dari segelintir orang di Malang dan Surabaya, tidak boleh serta merta mengantarkan mereka membenci orang-orang non Papua di sana. Sebab, orang Indonesia yang pergi ke Papua bukanlah kelompok bersenjata maupun kelompok pembenci rakyat Papua. Mereka adalah orang yang merasa bahwa mencari rejeki adalah usaha yang tidak mengenal batas wilayah.

Catatan Akhir

Kita sangat terpukul dengan pembantaian etnis di Papua yang terjadi di Wamena. Jokowi tidak boleh mentolerir pembantaian ini. Masalah vertikal dapat didekati dengan bernagai dialog, namun pembantaian etnis haruslah dilakukan dengan kekuatan negara, at all force dan at all cost.

Inilah yang segera harus dilakukan negara disamping gerakan antar rakyat Papua dan Non Papua mengeliminir kebencian yang tidak beralasan.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulisnya. Tak sependapat dengan tulisan ini? Silahkan tulis pendapat kamu di sini

Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulisnya. Redaksi Katarsis.id tidak memiliki tanggungjawab apapun atas hal-hal yang dapat ditimbulkan tulisan tersebut, namun setiap orang bisa membuat aduan ke redaksi@katarsis.id yang akan ditindaklanjuti sebaik mungkin.

Ingin Jadi Penulis, silahkan bergabung di sini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Dr. Syahganda Nainggolan
Dr. Syahganda Nainggolan
Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle

Artikel Terkait