Tangan Gingsar hendak menggapai, namun tak kuasa. Guyuran air samar-samar seperti terlihat mengucur dari tangan seorang pria berpeci. Tak terasa. Dingin atau panas.
Kosong pikiran Gingsar. Tak mengerti apa dan bagaimana dirinya. Tak juga mampu merasakan tubuhnya sendiri, hanya samar melihat sekeliling kamar di atas pembaringan.
“Aku ini bagaimana?”
Seperti berbicara sendiri. Si pria berpeci sibuk dengan gayungnya tidak menyambut sama sekali.
“Aku diapakan?”
Episode Ajal
Daliji dan Gingsar menemui ajal secara tragis. Daliji dibunuh Gingsar hanya karena dianggap menghina, setelah melerai pertengkaran antara Gingsar dengan orang-orang pasar. Gingsar sendiri tewas terlindas kereta api ketika mencoba lari dari kejaran polisi.
Daliji adalah seorang guru les yang jadi andalan anak-anak kampung. Sedangkan Gingsar adalah seorang preman pasar. Dua orang yang sejak hidup sampai ajal, seperti dua sisi berkebalikan sempurna. Tak ada cerita preman insyaf, atau guru maksiat di akhir hayat.
Apa barangkali karena ajal cepat? Mungkinkah jika umur lebih panjang ada waktu untuk tobat? Entahlah, waktu sudah tak bisa diulang.
Daliji sudah di lorong mati. Isak tangis istri dan anak-anaknya ia dengar dengan sedih. Hanya dengar. Dengan samar. Seperti setengah mimpi. Tanpa bisa kembali.
“Jangan salah jalan, jangan salah jalan,” setengah berteriak, tanpa respon. Ia tahu ia di lorong mati. Ia tahu tak akan didengar. Namun ia berharap istri dan anaknya tak salah jalan.
Antara sedih dan lega. Khawatir nasib keluarga, sekaligus lega terlepasnya beban hidup sebagai manusia dan bahagia hendak bertemu kekasih yang ia sebut-sebut berulang-ulang, Tuhannya.
“Segerakan-segerakan,” ruh Daliji menggumam. Tangan istrinya yang sendu bergerak menyusuri tubuh dengan wewangian yang tak tercium, dan dinginnya air yang tak terasa. Hingga ditutup dengan putihnya kain kafan.
Ruh Daliji seperti sedang menghadapi janji-janji yang ditunaikan. Janji adanya dunia setelah mati. Seperti kebahagiaan orang yang hendak pergi ke peraduan paling nyaman.
“Bawalah aku ke kubur, bawalah!”
Jenazah dikuburkan. Daliji bersuka, beberapa kerabatnya masih tetap berdiri lama untuk dirinya. Sampai kemudian ia dengar tapak-tapak sandal meninggalkan tanah pekuburan.
Sesaat kemudian sepi. Namun, akan ada yang terjadi.
Hati Tercekam di Lain Sisian
Gingsar dipenuhi rasa tercekam. Serasa hendak teriak. Tapi, tak ada yang mendengar.
“Aku diapakan? Aku diapakan?
Tubuhnya disambung-sambung, setelah putus sana-sini. Bungkus kain berlapis-lapis, menyembunyikan kengerian kecelakaan.
“Hei, Jali? Jali! Jali! Dimana kau?”
Ia sebut suruhannya yang biasa ia perintah. Tetap tak ada yang dengar. Seperti mimpi.
Semakin tercekam hatinya. Tubuhnya diangkat menjauh dari kamar. Diletakkan di atas keranda.
“Di bawa ke mana aku? Hey! Stop!” sebutnya tanpa daya. Tanpa bisa didengar. Diiringi diamnya pengusung keranda yang hanya empat orang saja.
Mendadak, tubuhnya di bawa ke bawah lahat. Semakin gelap.
“Jangaaaaannnnn, jangaaaaannn!” Gingsar tak berdaya. Tanah mulai diruntuhkan menimpa batang-batang bambu yang menutupi dirinya.
Ingin gila, tapi tak bisa. Hanya terdengar tanah bergesek cangkul, dan berderum meruntuhi.
Hingga akhirnya sepi. Gelap. Sayup-sayup terdengar suara tapak sandal menjauh, dan menghilang.
Sesaat kemudian sepi. Namun, akan ada yang terjadi.