Ketika Jung Chang dalam “Wild Swans: Three Daughters of China”, 1991, menceritakan kehidupan keluarga mereka di era the Cultural Revolution di China, ada bagian Chang bercerita ayahnya dimusuhi oleh keluarga-keluarga mereka. Pasalnya, ayahnya bersikeras tidak membantu kenaikan pangkat pamannya Chang. Padahal di kota itu, ayahnya, Wang Yu dan ibunya Bao Qin adalah petinggi partai komunis yang gampang saja membantu kenaikan pangkat seseorang.
Di masa itu, sudah menjadi budaya berkeluarga menolong anggota keluarga menjabati jabatan pemerintahan. Jika seseorang pejabat negara tidak membantu keluarganya, maka orang tersebut akan dicibir bahkan dikucilkan dari keluarga besar. Sebab, seorang yang baik adalah yang gampang dimintai tolong untuk membantu keluarga. Tidak membantu keluarga dianggap perbuatan kurang terhormat dan memalukan.
Pada masa itu, suasana di Indonesia juga berlangsung sama. Sukarno membentuk “Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi” yang diketuainya sendiri, dibantu Subandrio dan Ahmad Yani. Aparat revolusi tentu maksudnya kekuatan birokrasi diarahkan pada kepentingan aparatur dalam bekerja secara keras dan sungguh-sungguh membangun. Terutama karena berbagai asset perusahaan Belanda mulai diambil alih menjadi aset naisonal.
Suasana revolusioner di Indonesia, seperti di Cina, juga dihantui oleh budaya yang sama. Atau lebih luas lagi dengan masyarakat di asia timur.
Budaya kita, menurut Santoso dkk, Airlangga University, 2014, memang mewarisi budaya patrimonial dan permissif bagi tumbuhnya korupsi, bahkan hingga era modern ini.
Keberhasilan Komunis di China melawan korupsi telah menjadi fenomena utama yang diakui dan menjadi jalan bagi keberhasilan Deng Xio Ping melanjutkan pembangunan China yang bercorak Kapitalisme Sosialistik Negara. Sedangkan Bung Karno, dengan Sosialismenya telah gagal menghancurkan budaya patrimonial ini. Sehingga, ketika Suharto membelokkan Sosialisme menjadi Kapitalisme Negara, ketika berkuasa, budaya patrimonial dan permissif tetap menjadi bungkus bagi birokrasi dan kekuasaan kita.
Pada saat Santoso et. al melakukan riset keterkaitan budaya ini, pada 2013-2014, budaya yang dimaksud di sini lebih pada budaya Jawa yang menjadi rujukan. Dalam budaya ini patrimonialistik dan birokrasi menciptakan sifat “patron-client”, yang mendorong patron atau orang yang jabatannya tinggi menjadi lokomotif bagi pejabat-pejabat yang direkrutnya atau di bawahnya.
Patron seperti bapak yang harus dituruti. Sehingga, sifat rasionalistik dan impersonal dalam birokrasi Weberian tidak terjadi. Sifat birokrasi yang semula untuk memisahkan agenda publik dan pribadi menjadi bercampur baur.
Budaya Jawa ini di sisi lain tidak ingin menghancurkan sebuah konsep harmonisme dalam himpunan sosial. Alasan menjaga harmonis dalam masyarakat membuat kontra terhadap korupsi tidak besar. Selain itu, budaya yang dimaksud adalah budaya yang melihat urusan negara adalah urusan pribadi yang bersangkutan atau pejabatnya, bukan urusan masyarakat.
Demokrasi Bejat dan Korupsi
Ketika reformasi di mulai, isu pemberantasan korupsi kembali menjadi sentral. Tuntutan mahasiswa saat itu, antata lain seperti Fahri Hamzah (KAMMI) dan Masinton Pasaribu (REPDEM) mendorong agar pemberantasan korupsi merupakan agenda utama pemerintahan era reformasi.
Politik ekonomi kita yang bergeser menjadi liberalistik seperti di Amerika, seperti demokrasi liberal melalui pemilihan langsung dan ekonomi liberal, melalui “free market economy” & “free competition” awalnya diharapkan kompatibel dengan gerakan pemberantasan korupsi. Namun, setelah 21 tahun pasca Suharto, justru kita semakin terpuruk dalam budaya korupsi yang semakin luas, yang dalam penilaian Santoso dkk, sebagai kleptokrasi.
Pramono Anung, dalam disertasinya di Unpad, beberapa tahun lalu, mengutarakan hasil riset tingginya biaya politik untuk menjadi anggota DPR RI.
Demokrasi liberal saat ini yang begitu mahal, pada akhirnya memaksa elit politik berjuang keras melakukan korupsi untuk membiayai partai dan sistem politik mereka. Fenomena ditangkapnya Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum, ketua DPR sekaligus Ketua umum Partai Golkar Setya Novanto, Dirut BUMN PLN dan lainnya, menunjukkan tali temali korupsi sudah seperti kanker stadium 5. Alias sistem dan budaya korupsi sudah menjadi kenyataan budaya bangsa.
Perilaku di elit diikuti juga oleh masyarakat sampai ke desa-desa, yang memburu uang uang bantuan desa dan bantuan sosial untuk dikorupsi. Walhasil, elit dan rakyat masuk dalam kesatuan korupsi dalam bingkai kesatuan NKRI.