Beberapa hari yang lalu Presiden Jokowi memutuskan menggratiskan tol Jembatan Suramadu. Narasi yang dibangun oleh Pemerintah adalah penggratisan ini akan meningkatkan dayatarik investasi P. Madura, bukan gula-gula Pilpres. Keputusan ini memperdalam kekeliruan kebijakan pemerintah sejak pembangunan Jembatan Suramadu beberapa tahun silam. Narasi yang dibangun pemerintah berpotensi menjadi hoax bagi masyarakat Madura.
Pertama, jembatan Suramadu terbukti tidak memecahkan persoalan ketimpangan spasial antara Madura dan mainland Jawa Timur. Yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya Madura yang semakin tinggi ke mainland Jatim. Banyak lahan akan menjadi bancakan orang luar Madura. Orang Madura makin dipermudah bergerak ke Surabaya (untuk berbelanja dan rekreasi) dan Jatim, sementara sebaliknya tidak terjadi karena keterbelakangan infrastruktur di dalam Pulau Madura.
Yang sesungguhnya dibutuhkan Madura adalah pembangunan jaringan jalan, perlistrikan, air bersih, pelabuhan, revitalisasi jaringan rel kereta api, dan peningkatan kompetensi sumberdaya manusia Madura. Baru setelah semua infrastruktur ini setara dengan infrastruktur di mainland Jatim, Jembatan Suramadu itu akan berperan positif bagi Madura.
Kedua, ini memperlemah visi Indonesia Poros Maritim Dunia. Visi ini mensyaratkan kehadiran armada kapal-kapal berbagai jenis dan ukuran serta kecepatan di seluruh perairan Indonesia. Hingga saat ini Pemerintah Jokowi belum hadir secara efektif di laut Nusantara. Lintasan penyeberangan Ujung-Kamal pernah dilintasi oleh belasan kapal Ferry yang menjadikan lintasan ini salah satu lintasan tersibuk di dunia dan memberi keuntungan bagi ASDP. Sejak Suramadu dioperasikan, lintasan penyeberangan ini menjadi lintasan yang harus disubsidi.
Ketiga, kebijakan ini akan semakin menjerumuskan sistem logistik Jatim ke jebakan moda jalan (pribadi) yang tidak efisien, polutif dan tidak berkelanjutan. Orang Madura akan semakin tergoda membeli mobil dan motor baru terutama melalui utang. Setiap penurunan biaya angkutan darat pribadi akan meningkatkan konsumsi mobil dan motor. Surabaya akan semakin cepat mengalami kemacetan oleh aliran mobil dan motor asal Madura. Saat ini saja, Surabaya diguyur 100 mobil baru perhari dan 1200 motor baru perhari.
Keempat, kebijakan ini dibangun di atas paradigma benua, bertentangan dengan paradigma kepulauan. Dalam paradigma benua, kapal bukan infrastruktur, tapi jalan dan jembatan. Kapal disamakan dengan truk dan bis.
Kelima, dari perspektif ruang, berbeda dengan jembatan pelintas sungai, jembatan antar-pulau (pelintas selat) justru akan meningkatkan kecekungan ruang (spatial concavity). Dalam ruang cekung, jarak menjadi masalah.
Orang Situbondo sesungguhnya tidak perlu harus lewat jembatan Suramadu untuk pergi ke Sumenep, cukup menyeberang dengan kapal Ferry dari Pelabuhan Kalbut atau Panarukan ke Pelabuhan Kalianget. Ini akan menghemat biaya transportasi. Artinya, konektivitas Jatim justru menurun akibat adanya jembatan Suramadu (kecekungan ruangnya bertambah). Pemerintah gagal membedakan sungai dengan selat.
Terakhir, kita perlu melihat pembangunan Madura dari Madura, bukan dari Surabaya. Pembangunan infrastruktur di dalam P. Madura jauh lebih penting dan efektif dalam mensejahterakan masyarakat Madura daripada pembangunan jembatan Suramadu. Apalagi dengan menggratiskan biaya tolnya. Armada Ferry terbaru canggih yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan Pulau Madura ke beberapa pelabuhan di mainland Jatim akan menyelesaikan ketimpangan spasial di Jatim ini.
Gunung Anyar, 30/10/2018
Rosyid College of Arts and Maritime Studies