Ketua Pemuda Pancasila salah satu kota di Kalimantan Barat menelponku tadi mengisahkan di kantornya yang ber AC, bau asap juga masuk ke dalam. Filter AC tidak mampu lagi melindungi kejamnya asap akibat kebakaran atau pembakaran lahan-lahan di sana. Sudah seminggu transportasi udara Jakarta-Pontianak, katanya, mengalami gangguan asap, bahkan kebanyakan menghentikan penerbangan.
Anak-anak memakai masker sambil menahan nafas sesak, ular-ular banyak yang mati, monyet-monyet sakit terkapar. Banyak binatang alam lainnya korban, perekonomian praktis hampir lumpuh.
Pagi tadi, di sisi lain, saya memperhatikan berita-berita online Malaysia. IOI, sebuah perusahan Malaysia mengeluarkan statement membantah perusahaannya sudah di “sealed off” (ditutup) Jokowi. Pasalnya kantor berita Reuters menyatakan PT. Sukses Karya Sawit, anak perusahaan IOI, dalam judul “Indonesia hits back at Malaysia over forest fire”, 13/9/19, salah satu dari 4 perusahaan Malaysia yang membakar hutan di Riau, sehingga asapnya menyerang 5 daerah negara bagian Malaysia, Singapore dan berbagai kawasan Asean lain.
Riau dan Kalimantan adalah dua daerah Indonesia yang beberapa tahun belakangan ini menjadi sumber pemusnahan oksigen dalam skala Asean. Nitizen di dunia maya mencaci maki Indonesia setiap musim kemarau tiba. Sebab, dalam musim kemarau inilah asap menjadi “teroris” yang menyerang manusia dan hewan tanpa ampun dan transnational.
Pembakaran hutan adalah konsekuensi logis pengembangan kebun kelapa sawit secara terus menerus dan bisnis kayu. Pada tahun 2000 luasan kepala sawit di Indonesia hanya seluas 4,1 juta Ha. Tahun 2017 sudah mencapai 12 juta Ha. Tahun 2018 seluas 14 jutaan Ha. Bahkan KPK menyatakan luas ijin kebun kelapa sawit sudah mencapai 20 juta Ha.
Luas sawit milik rakyat adalah 5 juta Ha, sawit negara 700 ribu HA, sisanya dominan milik para taipan konglomerat alias kapitalis pemilik modal.
Ketika 4 tahun lalu pegiat lingkungan mengadukan Jokowi ke pengadilan dalam gugatan Jokowi tidak bertanggung jawab terkait pengelolaan hutan dan lingkungan sehubungan kebakaran hutan di Kalimantan, 2015, pengadilan ditingkat satu, Pelangkaraya, memvonis Jokowi dinyatakan melawan hukum. Pun ditingkat banding dan terakhir Juli 2019 di tingkat Kasasi.
Persoalan presiden melawan hukum menurut pengadilan adalah suatu hal baru di Indonesia. Namun menariknya, dalam kasus ini seharusnya Jokowi berpihak pada pegiat lingkungan dalam upaya mencegah kebakaran. Dengan upaya banding dan kasasi, terlihat Jokowi tidak menerima tuduhan kegagalan Jokowi ini.
Apakah Jokowi gagal? Jokowi sudah menggerakkan tentara dan kepolisian, disamping institusi lainnya, untuk penyelesaian kebakaran hutan ini.
Pada tahun 2016 seorang bos kelapa sawit yang dijadikan tersangka pembakaran lahan dinyatakan bebas di pengadilan di Riau. Saat ini tersangka pembakaran juga terjaring lagi di Riau dan Kalimantan. Seorang bos perusahan kelapa sawit di Kalbar dimasukkan sebagai tersangka. Tapi semua ini terlihat bagai sebuah siklus permainan, karena menurut pegiat lingkungan seperti Walhi, yang perlu dilakukan Jokowi adalah menindaklanjuti keputusan Mahkamah Agung itu, yang memuat proses penanggulangan kebakaran ini dalam sistem dan aturan yang lebih keras.
Disamping itu, menurut beberapa aktifis lingkungan, sebagaimana disampaikan pada news-mongabay-com. cdn. ampproject.org, ( http://bit.ly/2kPXz7F) beberapa waktu lalu, Jokowi harus memasukkan “secondary forest” (production forest) ke dalam agenda moratorium pembukaan lahan hutan (konversi), disamping hutan primer (rich carbon and peat land). Jika second forest di moratorium, maka kebakaran atau pembakaran lahan, setelah kayunya diambil, tidak akan terjadi lagi.
Lebih jauh, para aktifis lingkungan meminta pemerintahan Jokowi transparan siapa-siapa pemilik lahan sawit, hutan dan tambang itu agar rakyat dapat jelas bisa ikut mengontrol deforestasi dan kebakaran hutan.
Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia, misalnya, tetap saja tidak percaya efektifitas moratorium “primary forest dan peatland” (lahan gambut) yang dikeluarkan Jokowi 5 Agustus lalu. Menurutnya kelemahan implementasi, kontrol dan gampangnya merevisi regulasi menjadi ancaman. Moratorium yang ditandatangani Jokowi bulan lalu aja sudah mengurangi 3 juta Hektar dari rencana awal moratorium 69,1 juta Ha menjadi 66,1 juta Ha.
Greenpeace juga menemukan fakta pemerintah telah mengeluarkan ijin untuk pemakaian 1,6 juta Ha bagi keperluan “palm oil, pulp wood, mining and logging” (www.weforum.org).
Kembali pada situasi terkini, kebakaran hutan terjadi secara luas di Riau dan Kalimantan. Di Riau hujan sudah berhenti sejak beberapa bulan lalu. Mematikan api dengan kekuatan pasukan pemadam api terasa sukar sekali, dan penuh resiko. Apalagi kita melihat foto-foto kelompok pemadam yang tidak menggunakan masker dan pakaian anti api.
Gerakan solidaritas rakyat sementara hanya bisa menggalang masker dan obat-obatan ISPA. Tapi, sampai berapa lama situasi ini menerpa rakyat kita di Riau dan Kalimantan?
Tokoh-tokoh agama dan pemerintahan lokal mendorong rakyat untuk berdoa dan Sholat meminta hujan. Mungkin inilah kekuatan bangsa kita, bersandar pada Allah, karena sudah lelah bersandar pada negara. Jika Allah memberikan hujan, maka asap-asap akan lenyap. Udara dapat dihirup kembali.
Tanpa negara yang kuat, sekali lagi rakyat harus bersandar pada doa. Semoga doa-doa berkumandang di seluruh pelosok Riau dan Kalimantan agar Allah mendengar penderitaan rakyat di sana.
Semoga Allah melindungi anak2 kecil, bayi, tua jompo dll dari asap yang menyesakkan di Riau, Kalimantan dan Malaysia.