Kemarin siang, Rabu, 9 Oktober 2019, Anies Baswedan menjapri saya via WA, “Chief, masih kuat bersepeda?”. Tentu saya kuat, jawabku. Karena saya 1,5 tahun bermukim di Belanda menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama. Di Indonesia, ketika tinggal di Tebet, saya juga pernah mencoba menggunakan sepeda sebagai alat transportasi selama lebih setahun lebih.
Anies mengajak saya sore itu bersepeda dalam kunjungan kerjanya ke RPRTA (Ruang Publik Ramah Terhadap Anak) di daerah Tanah Tinggi. Start dari Balaikota.
Sebelum berangkat, saya memperhatikan sepeda Anies yang berbeda dengan sepuluhan sepeda lainnya, yang akan digunakan stafnya, termasuk Walikota Jakarta Pusat. Sepeda Anies khas sepeda transportasi, sedangkan lainnya sepeda sport.
Sepeda itu menurut stafnya adalah sepeda yang digunakan Anies ketika kuliah di Maryland University, Amerika Serikat. Saya langsung berpikir bahwa penggunaan sepeda jenis ini menunjukkan bahwa Anies dan sepedanya bukanlah “fettism” alias gaya gayaan. Sepeda yang digunakan Anies itu seperti sepeda di Belanda, untuk lelaki biasanya ada palang antara tempat duduk ke arah stang nya.
Pantas saja agenda Anies untuk membangun 17 jalur sepeda di Jakarta, seperti tulisan saya sebelumnya, dihayati benar oleh Anies sebagai agenda besar.
Sebelum berangkat, Anies melalui layar HP-nya, menjelaskan pada saya dan Dr. Ahmad Yani, SH, senior Anies di HMI MPO, serta, Ir. Hendri Harmen, eks Ketua Alumni ITB-Jakarta, pilihan-pilihan sepeda yang akan di produksi rekanan Pemda DKI secara massal. Sepeda itu mempunyai berbagai model yang disesuaikan dengan kebutuhan, a. l. kantor, belanja, bawa anak, dll. Menurutnya, tahun 2020 sepeda ini akan disebarkan di Jakarta.
Rute bersepeda dengan Anies, sore itu, dari Balaikota melewati jl. Sabang, Kebon Sirih, Perapatan Senen, Kramat Raya, Sentiong, menyusuri Kali item Sentiong, lalu ketemu RPRTA.
Menemani Anies bersepeda awalnya saya berimajinasi melewati kota-kota tua di daerah Kota, karena Anies tidak memberitahu saya titik tujuan kunjungannya. Imajinasi saya langsung lenyap setelah rute demi rute yang dilalui merupakan jalan padat penuh asap yang dihembuskan knalpot mobil, bus dan motor.
Memori saya tentang indahnya bersepeda adalah seperti rute Nordweijkerhout, rumah istri saya, ke Leiden atau rute dari Rotterdam zuid ke Erasmus University, yang dulu selalu saya kayuh sepeda setiap hari, benar-benar membuat badan saya slim, otot kuat dan pikiran segar. Karena udara yang dihirup penuh oksigen.
Saya mulai ragu apakah ide membangun transportasi sepeda mungkin terwujud di Jakarta. Namun, melihat wajah Anies sepanjang jalan, saya akhirnya tetap optimis. Anies tetap riang gembira bersepeda di antara polusi yang tinggi. Anies membisikkan pada saya, bahwa dengan bersepeda dia dapat melakukan inspeksi secara langsung atas proyek-proyek Pemda di lapangan dan tentunya keadaan masyarakat bawah.
Sambil melayani sapaan warga, tukang ojek online, penumpang ojek yang mau berfoto selfie, anak-anak sekolah di pinggiran jalan yang melambaikan tangan, Anies melihat pekerjaan pembangunan trotoar di koridor Jl. Kramat dan mendapat penjelasan Wali Kota soal pembersihan kali. Anies mengatakan bahwa lebar trotoar akan disesuaikan. Kemacetan di Jakarta salahsatunya karena ruas jalan sering tidak seragam, sehingga “flow” atau aliran menyempit sering membuat pengguna berebut jalan.
Trotoar diperlebar penting untuk memanjakan pejalan kaki. Nanti pada tahun 2020, ketika berbagai jalan diberlakukan ERP (sistem jalan berbayar), warga harus diberikan alternatif yang tidak berbayar, seperti bersepeda dan berjalan kaki.