“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.”
Kira-kira begitu sepenggal lirik lagu kebangsaan kita. Saya kira, kita semua sudah hafal luar kepala. Tidak hanya bait itu, tetapi juga keseluruhan baitnya yang ada di satu stanza pertama itu. Tak perlu saya ucapkan lanjutannya, saya haqul yakin kita semua dapat meneruskan potongan liriknya.
Sejak sekolah dasar, anak Indonesia diwajibkan untuk bisa menyanyikan lagu kebangsaan itu dengan fasih. Tiap bait, lengkap dengan nadanya. Di sekolah menengah, kita diminta untuk menggelar upacara bendera setiap senin dengan memutar lagu itu. Kini, tentu dengan naik turun intonasi dan tekanan suara yang sudah lebih tertata, berbekal perasaan campur aduk antara kepanasan, bosan, dan tentu saja rasa respek yang terlampau sederhana jika disebut hanya rasa bangga.
Ada rasa kebersatuan, kolektifitas, dan kehormatan di dalamnya. Rasa ini sulit dijelaskan hanya lewat dramatika tulisan. Sebab memang itulah sesungguhnya fungsi seremoni. Perayaan atas suatu peristiwa. Menimbulkan rasa bangga. Menata haru. Melekatkan kesadaran bersama.
Oleh karena itu saya yakin, tentu saja kita ingat tiap bagian dari lagu kebangsaan kita. Kita semua sudah sangat hafal, kagum, dan cinta dengan lagu Indonesia Raya yang rutin ada di setiap bab pelajaran nasionalisme kita. Sayang kita terkadang luput merenungkan maknanya.
Khusus di bait di atas itu saja, saya memaknai ada semangat laten yang ingin diekspresikan W.R. Supratman melalui nada. Kalau kita ikuti satu persatu bagian itu dengan seksama, yang harus dibangun pertama adalah jiwanya, baru badannya. Jiwanya terlebih dahulu. Badannya, raganya, menyesuaikan jiwanya. Bukan sebaliknya.
Menggelorakan pembangunan fisik tanpa merawat tumbuhnya jiwa hanya akan melahirkan masyarakat ‘zombie’ yang tercerabut paksa dari asalnya.
Bicara tentang pembangunan jiwa tentu akan berhubungan dengan budaya. Juga karakter. Di hampir setiap negara yang selama ini dipandang maju, ada semacam kesadaran kolektif akan pentingnya letak budaya tertentu yang dijadikan gaya hidup (way of life). Entah itu budaya disiplin, tertib, bebas berpendapat, hormat pada orang lain, kejujuran, dan lain-lain.
Mohon dimengerti bahwa budaya yang saya maksudkan tidak terbatas hanya pada persoalan kesenian. Budaya disini adalah tentang laku hidup yang dibiasakan dalam hidup sehari-hari dalam bermasyarakat. Kesenian tentu memainkan peran penting dalam menumbuhkembangkan hidupnya budaya di masyarakat. Ia adalah katalisator nilai yang penting. Di waktu-waktu tertentu, kesenian dapat pula memainkan peran dalam proses evaluasi kemajuan hidup menggunakan indikator-indikator adab.
Kehadiran kesenian memang berkelindan dengan laku budaya. Di tempat-tempat tertentu dimana kesenian dimarginalisasi dan diasingkan dari masyarakat, masyarakat tersebut dapat dipastikan akan tumbuh dengan jiwa yang kering dan nirbudaya. Ia akan menjadi masyarakat auto-pilot yang menjalankan hidup bak sekrup.
Kesenian membawa pengaruh besar pada eksistensi budaya. Namun budaya bukan hanya soal seni. Ia meliputi segala aspek kehidupan masyarakat. Masyarakat kita akan dicatat dalam sejarah sebagai bangsa apa, adalah bergantung pada kualitas budayanya. Secara umum, secara menyeluruh.
Lalu budaya apa yang seharusnya kita bangun dalam konteks masyarakat Indonesia?
Saya masih menyimpan erat peribahasa “dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung”. Dalam benak saya, Indonesia sejatinya punya karakter asal yang dapat terus diperkuat nuansanya apabila ada kehendak yang kuat dari masyarakatnya dan ada political will yang memadai dari pemerintahnya. Budaya itu disebutkan oleh Bung Karno sebagai budaya gotong royong.