Awalnya perang dingin, berubah jadi perang hangat, lanjut jadi perang panas, dan bisa jadi kemudian menjadi perang panas-dingin.
Itulah perang Risma vs Khofifah. Dua srikandi dari Jawa Timur. Satunya walikota Surabaya, satunya gubernur Jawa Timur. Dari perang tertutup, jadi perang setengah tertutup, setengah terbuka. Memang belum benar-benar perang di palagan terbuka, tapi gemerincingnya tak kalah heboh dari perang terbuka.
Persaingan diam-diam tak terhindarkan. Dua wanita paling berpengaruh di Jatim itu sama-sama tidak mau kalah angin. Persaingan merembes keluar karena Khofifah mengomentari Risma soal stadion GBT (Gelora Bung Tomo) yang bau sampah. Risma tersinggung, tapi dia tak meledak seperti biasanya. Reaksi keras muncul dari kalangan birokrat Surabaya dan beberapa pentolan Bonek, suporter Persebaya.
Risma punya hubungan yang kurang harmonis dengan kalangan sepakbola di Surabaya. Ia bahkan tidak punya hubungan mesra dengan Persebaya yang sampai sekarang tak diizinkannya memakai stadion legendaris Gelora 10 Nopember, Tambaksari.
Persebaya–milik Azrul Ananda bin Dahlan Iskan yang nota bene pendukung fanatik Risma di pilwali 2010–saat ini seperti anak terusir dari tempat kos dan tidak tahu harus nginap dimana. Gegara suporternya merusak fasilitas GBT usai kalah dari PSS Sleman (29/10), Persebaya sekarang tidak punya stadion tempat bermain. Stadion-stadion di sekitar Surabaya pun tak ada yang bersedia menampung. Risma pun tidak peduli.
Karena itu, GBT sebenarnya bukan soal sepakbola bagi Risma. Ini soal citra Risma yang sudah dibangun dan dijaganya dengan sangat tekun dan hati-hati selama 10 tahun. Ketika Khofifah membuat komentar pejoratif terhadap GBT ia telah menyinggung citra Risma.
Sebenarnya GBT bukan proyek Risma. Stadion ini dibangun di era Bambang DH bersama Saleh Mukadar yang saat itu menjadi brother in arms Bambang DH. Entah bagaimana ceritanya dulu, stadion ini dibangun begitu mepet dengan tempat pembuangan sampah. Orang Surabaya menyebutnya gung lewang lewung alias tempat jin buang anak, tidak ada akses yang memadai menuju kesana.
Dipandang dari kejauhan terlihat hamparan padang terbuka yang luas dengan dua gundukan besar; gundukan stadion dan gundukan sampah. Soal bau? Terserah kualitas sensifitas hidung Anda. Bagi yang sering kesana mungkin bau itu jadi biasa. Tapi, bagi Khofifah yang belum kesana (atau baru mau kesana) aroma itu mengganggu.
Inilah yang menjadi pangkal perseteruan itu. Khofifah mengatakan stadion bau sampah. Dia melanjutkan komentar dengan mengatakan GBT tidak layak untuk jadi salah satu venue Piala Dunia U-20 tahun 2021. Khofifah lalu menyebut akan mengusulkan Stadion Kanjuruhan sebagai ganti.
Ini pernyataan secara politis tidak sensitif, politically incorrect. Pembisik Khofifah tidak paham perseteruan Persebaya vs Arema, Surabaya vs Malang. Mendiskreditkan GBT dan kemudian mempromosikan Kanjuruhan sama dengan menampar muka Bonekmania, pendukung Persebaya. Wajar kalau Bonek murka.
Beberapa hari belakangan ini Risma tengah sensi karena banyak jadi sasaran kritik. Ia diserang soal mafia perizinan yang disebut-sebut melibatkan salah satu anak kandungnya. Ia mati-matian menangkisnya, pun pula para pendukungnya ramai-ramai membantah tudingan itu. Toh, serangan terbuka itu tetap mencederai citranya.