Katanya Suku Asmat adalah suku yang kaya dan daerahnya kaya dengan sumber alam. Mereka tidak punya hutang, sehingga tidak ada beban psikologi takut dililit hutang. Bahkan mereka termasuk penyumbang devisa negara. Tapi ternyata suku Asmat masih hidup primitif jauh dari kemajuan ilmu dan teknologi dan saat ini terkenal karena KLB gizi buruk menimpa balita mereka.
Saya pernah merawat seorang anak kurang gizi beberapa tahun yang lalu. Seorang anak yang masih balita dan membutuhkan kasih sayang orang tua untuk pertumbuhannya. Namun kondisi keluarganya membuat ia terlantar dan seperti tidak diacuhkan. Kedua orang tuanya staf pengajar di perguruan tinggi ternama. Setiap hari waktunya banyak mengurus urusan karir. Mulai dari mengajar membimbing mahasiswa sampai penelitian dia tekuni dengan baik. Sementara anak buah hati mereka tinggal dengan pembantu dan nenek yang sudah ringkih.
Jika dilihat dari penampilannya saat menjaga anaknya yang tengah dirawat, sesuatu yang kontras. Badan ibunya sehat dan menarik, bahkan ada kalung emas melingkar dilehernya. Sementara badan anaknya hanya tinggal kulit pembalut tulang dengan mata cekung tanpa gairah.
Dilain waktu, saya mendapatkan sebuah keluarga sederhana disebuah desa. Keluarga petani muda dengan pendidikan tidak tamat SD dan hanya menggarap kebun yang tidak seberapa luas. Mereka tinggal disebuah gubuk ditengah kebun dengan berlantaikan tanah. Gadis balita satu-satunya, setiap hari mereka bawa ikut merawat kebun. Jika sedang bekerja, sang anak sering hanya bermain dalam gendongan di punggung ibunya. Dikala ibunya istirahat, baru balitanya dilepas bermain dengan permainan apa adanya.
Balitanya sehat dan terawat. Nafsu makannya baik dan terlihat keceriaannya disaat bermain. Walau kulitnya kehitaman karena setiap hari diterpa sinar matahari, tapi tetap mulus dan cantik. Dia cepat akrab dengan orang yang menyapanya. Ketika kami ikutkan lomba balita sehat dikala itu, sang balita dapat juara satu di tingkat kabupaten.
Dua kondisi yang sangat kontras. Keluarga yang kaya dan berpendidikan dengan anak kurang gizi disatu pihak. Keluarga sederhana dengan pendidikan formal yang rendah disisi lain dengan balitanya sehat tidak kurang gizi. Ternyata harta yang berlimpah dan tingginya pendidikan formal tidak menjamin anaknya terpelihara dari gizi buruk. Walau ibu bapaknya punya pendidikan formal yang rendah, namun tetap bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Makanan bergizi tidak hanya direstoran dan mall. Banyak sumber gizi yang baik tersebar diseantaro bumi pertiwi ini. Ikan, ayam dan telor serta sayur mudah ditemukan di pedesaan. Setiap keluarga bisa mengusahakannya tanpa harus modal banyak. Juga setiap keluarga bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka tanpa harus mengeluarkna uang untuk mendapatkannya. Hanya saja sering kita temukan dipedesaan, telur ayam dan ayamnya dijual untuk mendapatkan kebutuhan sekunder yang lain. Sedangkan untuk gizi keluarga yang merupakan kebutuhan primer terabaikan.
Saya rasa yang sangat penting adalah rasa tanggungjawab dan pemahaman akan perlunya hidup sehat. Untuk apa harta berlimpah dan pendidikan tinggi jika perhatian dan kasih sayang pada anak tidak dimiliki. (Elfizon Amir)