Kecele dan malu gegara action plan itu bocor di medsos, ketua umum organisasi mahasiswa di Surabaya itu mengundurkan diri.
Langkah ini diapresiasi banyak kalangan karena dianggap sikap yang bertanggung jawab. Meskipun nilai action plan itu hanya belasan juta rupiah, tapi ketua organisasi itu memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab.
Kita tunggu akankah ada petinggi lembaga hukum negara yang mundur gegara action plan ratusan miliar Pinangki yang bocor itu. Sejauh ini yang terdengar adalah saling lempar dan saling bela diri dengan narasi-narasi normatif yang berbelit-belit.
Bahasa dan semiotika korupsi memang selalu rumit dan berbelit. Dr Aceng Abdullah, pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung meneliti semiotika korupsi ini dalam disertasi doktoralnya berjudul “Komunikasi Korupsi: Studi Etnografi Komunikasi Tentang Bahasa yang Digunakan dalam Aktivitas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme” (2013).
Abdullah menemukan adanya bahasa isoterik yang hanya dipakai dan dipahami secara terbatas dan tertutup di kalangan pelaku korupsi.
Abdullah mengidentifikasi sedikitnya 11 istilah yang banyak dipakai untuk mengaburkan korupsi, misalnya uang lelah, uang bensin, dan bahkan shodaqah.
Studi terbaru dari Aspinall dan Berenschot (2019) “Democracy for Sale” juga menyoroti peliknya korupsi klientelisme yang melibatkan anggaran negara, melalui bagi-bagi proyek dari pejabat (patron) dan pengusaha (klien) sebagai imbalan dukungan politik.
Di tengah pelaksanaan pilkada serentak seperti sekarang, action plan untuk mendukung calon kepala daerah tertentu pasti berseliweran. Tujuannya adalah mendapatkan reward setelah nanti calon dukungannya sukses.