SERUJI.CO.ID – Sejarah keakraban saya dengan Kalimantan mirip dengan Kawasan Wisata Mandeh, yang sejak tahun 2015 muncul sebagai kawasan wisata baru yang melesat namanya.
Perkenalan dan keakraban saya dengan Kalimantan tidak terlepas dari profesi saya sebagai peneliti sekaligus aktivis sebuah forum intelektual muda di tahun 1990-an. Jika saya “menemukan” Kawasan Mandeh pertama kali tahun 1999, kedatangan pertama saya ke Kalimantan lebih awal dari itu. Meski saya tidak ingat lagi tahun persisnya, saya pastikan waktunya di awal 1990-an ketika saya menjadi Ketua Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI.
Kota tempat pertama kali saya menginjakkan kaki di Kalimantan adalah Kota Seribu Sungai, Banjarmasin. Di luar pertemuan serius, saya diajak oleh teman-teman tuan rumah “cruising” sampai ke Sungai Barito dengan perahu kecil bermesin 15 PK yang suaranya memekak sampai ke dalam telinga.
Takdir baik kemudian mengantar profesi saya menjadi seorang pengamat kebijakan publik di awal tahun 2000-an. Status ini tentu tidak terlepas dari terbitnya buku pertama saya, Gagalnya Pembangunan oleh LP3ES tahun 2001. Sejak menyandang status sebagai pengamat kebijakan publik itu saya menjadi mengenal dengan dekat Nusantara yang indah permai ini, termasuk Kalimantan.
Semua provinsi di Nusantara sudah saya kunjungi. Untuk Kalimantan, saya tidak hanya sering berulang ke kota-kota provinsi. Beberapa tempat yang pernah saya kunjungi termasuk daerah-daerah yang belum pernah dikunjungi oleh sebagian pejabat provinsi-provinsi di Kalimantan.
“Tak kenal maka tak sayang”. Pepatah asli orang Indonesia ini benar adanya.
Setelah berkunjung beberapa kali ke Kalimantan, sejak tahun 2009 saya sering menulis di Twitter, “Tak kenal maka tak sayang Sintang, Pulau Laut, Sangata, Tanjung Selor…”, untuk memperkenalkan beberapa alam yang mempesona di Kalimantan.