Dulu, sempat Bung Karno menyampaikan bahwa Pancasila yang lima silanya itu, apabila disarikan menjadi satu sila saja, namanya adalah gotong royong. Gotong royong adalah kehendak kolektif untuk berkolaborasi demi mencapai tujuan bersama. Tujuan kita tentu tak berubah, perihal keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama. Nilai ini diakui Bung Karno tidak ditangkap dari udara kosong namun digali dari memori ribuan abad Bangsa Indonesia yang telah mengendap dalam laku hidup sehari-hari masyarakat kita dari ujung timur hingga barat republik.
Dalam lingkungan desa, pemandangan gotong royong ini masih sangat sering kita temui dalam bentuk interaksi saling membantu yang dilakukan berdasarkan inisiatif hidup bersama yang baik antar warga. Di habitat perkotaan, kita masih bisa menjumpai karakter ini di sudut-sudut kecil kota yang jauh dari asap dan bising.
Gotong royong mengandaikan orang-orang dari berbagai latar belakang identitas yang berbeda untuk bertemu, bertukar pikiran, dan saling memberikan bantuan jika diperlukan. Ada kehendak untuk meninggalkan ruang privat sejenak pada tradisi gotong royong dan melebur ke dalam geliat ruang publik.
Dalam ruang publik yang sehat, ada proses komunikasi yang memungkinkan terjadinya diskursus untuk menciptakan narasi independen yang khas dan didominasi oleh kehendak publik, sebagaimana digambarkan oleh Habermas. Akan ada dialektika yang hidup dan memunculkan nafas kota yang dinamis serta kritis baik terhadap pasar, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya. Hanya melalui ruang publik yang terawat, karakter gotong royong akan senantiasa menemukan realitas pijakannya.
Tentu saja ada beberapa tantangan yang perlu ditanggulangi. Dalam beberapa kondisi dimana kehendak politik pemerintah untuk memperkaya ruang publik absen misalnya, masyarakat seharusnya dapat mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghimpun diri dan memperkuat simpul dalam mengisi ruang-ruang publik yang tersedia dengan pertemuan-pertemuan, ekshibisi, maupun gerakan sosial.
Taman, balai, lapangan, bahkan warung-warung kopi terbuka dapat menjadi embrio ruang publik yang sehat. Kembalinya komunitas-komunitas sosial kepada ruang-ruang tersebut akan menjadi cikal badan pembidanan tumbuhnya masyarakat dewasa di tengah paradoks terpaan global yang cenderung mengusir masyarakat ke ruang-ruang privat nan eksklusif di kafe, pusat perbelanjaan, dan rumah-rumah makan. Pembudayaan ini bisa dilakukan bahkan tanpa campur tangan pemerintah, apabila ada dorongan yang kuat dari elemen masyarakat yang ada.
Belantara beton dan semen dengan segenap kemewahan atribut fisiknya hanya akan menjadi pelayan kepentingan privat dan sektoral apabila tidak dilengkapi dengan keseimbangan yang baik dari segi keramahan ruang publik.
Ketiadaan interaksi yang manusiawi antar individu secara langsung serta terbatasnya ruang bertemu komunitas akan mengeksklusikan komunitas sosial dari rahim masyarakat yang membesarkannya. Risikonya bahkan terlalu besar untuk dibayangkan. Krisis identitas, timbulnya rasa saling curiga, depresi, dan menipisnya jiwa egaliter adalah beberapa gambaran nyata di antara sekian puluh konsekuensi lain yang tidak akan pernah siap kita untuk menghadapinya.
Gejala ini sedang cukup banyak kita temui sekarang. Di banyak kota-kota besar, keberadaan ruang publik tidak diisi dengan giat-giat yang memerdekakan ekspresi dan mengaktualisasikan aspirasi masyarakat, sebaliknya ia diletakkan sebagai pranata pemerintah dalam menjalankan fungsi kontrol. Petugas keamanan sewaktu-waktu siap membubarkan aktivitas masyarakat yang dianggap tanpa ijin, sedangkan birokrasi dan perijinan penggunaan ruang publik masih berbelit dan sulit dijangkau oleh publik pada umumnya.
Padahal sejatinya ruang publik adalah milik publik. Dimana banyak ruang privat dan eksklusif sudah penuh dengan kepentingan dagang dan komersial, ruang publik tidak boleh menjadi momok bagi publik yang ingin menggunakan. Ia harus direbut kembali fungsinya sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi, sebagai tempat bertukar pikiran, karsa, dan karya, terutama di area-area perkotaan.
Tidak boleh sebaliknya. Sebab keterbalikan kondisi akan selalu menyandera. Ibaratnya sebuah bom waktu, situasi seperti ini pasti akan ‘meledak’. Pilihannya hanya dua. Antara kita repot-repot mencari cara untuk mematikan sumbu dan mengeluarkan panas secara terukur, atau menunggu bencana dengan berlagak riang gembira sambil bergelimang kedamaian semu seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Atau sebenarnya sudah mulai terjadi apa-apa? Kecil-kecil. Sesekali besar dan masif. Menunggu saat yang tepat. Entahlah. Tapi yang pasti, inilah waktunya untuk perlahan-lahan kembali. Belum terlalu terlambat untuk kita semua bersama-sama kembali ke ruang publik.