Ada sebuah kapal, dibangun oleh orang-orang. Tentu, dengan mendatangkan tukang.
Kapal jadi. Orang-orang tidak tahu berlayar. Karena itu, sewa nakhoda dan abk-nya.
Kapal berlayar. Ugal-ugalan. Orang-orang kendur kepercayaannya.
Si A:”Ini nakhoda bejat!”
Si B:”Ayo gusur!”
Orang-orang segera gusur ini nakhoda. Namun, kapal terlanjur compang-camping, rusak sana rusak sini.
Dipilih diantara orang-orang, pengganti nakhoda. Nakhoda baru pun bekerja luar biasa. Kapal selamat, walau minimal.
Namun, orang-orang sudah berkurang. Banyak yang putus harapan. Hanya orang kuat yang bertahan.
Badai pun bisa dilalui tertatih-tatih. Nakhoda dipercaya membawa kapal melanjutkan perjalanan. Apalagi, si nakhoda banyak berkorban demi sampai tujuan.
Namun, fitnah pun datang. Orang-orang mulai ragu kepada nakhoda.
Si C:”Aku meragukan nakhoda, mengapa ia begini dan begini?”
Si D:”Masak, sih? Hmmm… Kayaknya memang begitu.”
Si E:”Ah, tidak. Ia tidak begini dan begitu”
Si F:”Aku lihat, arah kapal masih benar, walau aku tak suka dia.”
Sebagian orang merasa punya kapal sepenuhnya. Sebagian merasa ada andil nakhoda.
Sebagian menilai nakhoda dari cara bicaranya. Sebagian dari cara hidupnya. Sebagian karena keputusannya.
Karena nakhoda bagian dari orang-orang, ia tetap teruskan perjalanan. Ia hanya lihat kompas mau kemana arah kapal.
Sebagian orang yang juga pegang kompas, tidak mundur walau desas-desus berseliweran. Asal arah kapal masih sesuai.
Sebagian lain mulai ribut. Nakhoda dianggap hendak menyimpang. Mulailah rongrongan datang. Akankah kapal diberhentikan? Atau akan datang kekacauan sehingga semua tenggelam?
Sepertinya, nakhoda hendak terus, walau kapal berhenti. Walau harus pakai sampan sekalipun.
Nasib kapal orang-orang mungkin tinggal nama. Tapi, mungkin masih ada yang meneruskan cita-cita. Hanya takdir yang menghentikannya.