SERUJI.CO.ID – Saya menerima Pancasila seperti rumusan almarhum Nurcholish Madjid: kalimatin sawaa-in, platform kehidupan bersama masyarakat yang Bhinneka Tunggal Ika di dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Penerimaan saya ini sekaligus sebagai penghormatan atas kesepakatan Bung Karno, Bung Hatta dkk para pendiri bangsa Indonesia ini.
Namun harus segera diingat bahwa Pancasila dan Republik Indonesia adalah narasi, atau fiksi ala Rocky Gerung. Keduanya hanya ada dalam pikiran dan kesadaran sebagai kompleks gagasan, narasi dan citacita.
Pancasila dan Indonesia tidak pernah dalam kondisi selesai, in factu, tapi selalu dalam proses menjadi in statu nascendi. Ini sebuah proses kreatif dinamis yang rapuh, getas, dan genting, namun penting. Menjadikan NKRI sebagai harga mati, misalnya, justru menolak its very essence.
Salah satu bukti RI dalam kondisi in statu nascendi adalah gagasan RI Serikat dan Deklarasi Djoeanda 1957 yang mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berbeda dengan saat diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta. Jika Romo Mangun menilai NKRI adalah mitos, maka saya membaca desentralisasi sebagai tahapan menuju NRIS. RIS menurut hemat saya lebih sesuai dengan kondisi geografis kepulauan dengan mega diversity dalam bentang alam seluas Eropa ini.
Jadi yang mengancam eksistensi Pancasila bukan Ormas Islam tertentu, atau dosen seperti saya, tapi pengalaman hidup ber-Pancasila yang getir, pedih penuh penderitaan, ketakutan, kemiskinan, serta ketimpangan sosial dan spasial.
Kita tidak bisa begitu saja mewariskan Pancasila dan Indonesia seperti segumpal emas, tapi perlu mendialogkannya dalam wacana dan praktek berkehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas. Iklim kebebasan itu penting agar generasi muda merasa ikut merumuskan dan menarasikan kembali Pancasila dan Indonesia dalam semua zaman. Agar keduanya tidak menjadi artefak museum yang menarik tapi tidak relevan lagi bagi setiap generasi. Ini proses yang fragile dan menegangkan tapi tak terelakkan.
Bagi saya, nilai-nilai Pancasila yang digali oleh Bung Karno dalam kesadaran bangsanya hidup subur selama kekhalifahan Islam hingga awal abad 20. Jadi kekhalifahan Islam itu memberi lahan dan udara yang subur bagi tumbuh kembang Pancasila.
Justru setelah proklamasi kemerdekaan 17/8/1945 Bung Karno dkk menemukan lahan dan udara neoliberal yang tandus bagi Pancasila. Bahkan Bung Karno dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan nekolim.
Orde Baru praktis memantabkan neokolonialisme di Indonesia. Reformasi sebagian lahir karena kita sebagai bangsa justru menderita dalam nekolim yang telah mengerdilkan Pancasila.
Prinsip kekhalifahan sebagai Tata Dunia atau internasionalisme sudah disadari oleh perumus Pembukaan UUD 45 dan oleh Bung Karno, diadopsi dalam sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ini merupakan inti sari dari alinea pertama Pembukaan: kehendak untuk merdeka dari penjajahan karena bertentangan dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan.
Bagi saya kekhalifahan itu adalah Tata Dunia: global governance dengan semua instrumen teknokratiknya di bawah PBB seperti perjanjian-perjanjian perdagangan, sistem keuangan, upaya memerangi perubahan iklim, pembatasan senjata nuklir, kemaritiman dsb.
AS adalah salah satu negara maju yang tidak meratifikasi banyak perjanjian-perjanjian internasional itu dan dengan demikian memposisikan dirinya above the law. Untuk upaya menghentikan perubahan iklim dan kesepakatan Nuklir dengan Iran, misalnya, PBB telah ditelikung oleh AS.
Bacaan saya atas sejarah dunia selama 100 tahun terakhir ini adalah dunia semakin tidak berperikemanusiaan dan tidak berperikeadilan sejak runtuhnya kekhalifan Turki Ottoman. Sejak itu, selama kekhalifahan Pac Brittanica di bawah Winston Churchill kemudian Pac Americana di bawah Donald Trump, kita menyaksikan konsistensi kita sebagai negara miskin dengan ketimpangan global yang makin parah, dunia terjerumus dalam perang illegal berkepanjangan, keruntuhan ekosistem dan ancaman perang nuklir di dekade kedua abad 21 ini.
Ancaman pada Pancasila dan NKRI tidak datang dari ormas-ormas Islam tertentu dan komentar dari segelintir orang seperti saya, tapi oleh sekelompok elite korporasi AS dan sekutu global maupun domestiknya yang sikapnya tidak saja telah mengerdilkan Pancasila, tapi langsung mengancam eksistensi spesies kita demi ekonomi perang yang didorong military industrial complex.
Secara matematika, bagi NKRI yang berdaulat, Pancasila itu adalah syarat perlu (necessary condition), sedangkan syarat cukupnya (sufficient condition) adalah tata dunia (khilafah) yang disusun menurut Islam.
Lanjutan ke Tulisan 5: Surabaya Menggugat