SERUJI.CO.ID – Jika dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara mutakhir kita tempatkan dalam sorotan alinea pertama Pembukaan UUD45, sangat penting kita mencermati postulat Isaiah Berlin bahwa “Berada di tengah itu adalah sebuah posisi yang sangat terbuka, berbahaya dan tak-tahu-berterimakasih”. Alinea itu menegaskan prinsip-prinsip kemerdekaan sebagai hak atas semua bangsa. Penjajahan sebagai perampasan hak atas kemerdekaan itu harus dilawan karena tidak manusiawi dan dzalim. Soalnya adalah: siapa yang nekad mau mengambil posisi-tengah itu?
Berlin 60 tahun lalu -dalam Two Concepts of Liberty– ingin mengajukan tantangan bahwa siapapun yang beniat memperjuangkan kemerdekaan -sekaligus menegakkan keadilan- akan berada dalam posisi tengah yang sulit: sasasaran kecaman, intimidasi, pemenjaraan, pembunuhan karakter -bahkan terbunuh-, sehingga berbahaya, sementara perjuangannya tidak dihargai.
Dalam catatan saya, orang-orang ini telah memutuskan mengambil posisi tengah: Yesus, Muhammad Rasulullah, Martin Luther King, Bob Kennedy, Malcolm X, Bung Karno, dan Bung Hatta. Mereka ini memiliki nyali dan stamina untuk mengambil posisi tengah dengan ketegangan yang tidak kunjung selesai itu dengan berani menolak untuk berhenti berpikir bebas.
Dalam situasi masyarakat yang sedang kacau terancam tergelincir menjadi negara-gagal, pejuang kebebasan itu akan disebut, pertama sebagai tukang kritik tidak-profesional yang “tidak kebagian kue”. Itu belum selesai, kemudian dia disebut radikal, ekstremis, fundamentalis, bahkan pemecah belah. Untuk kasus Indonesia mutakhir, mereka akan disebut: anti-Pancasila dan NKRI. Padahal mereka itu cuma nekad memberanikan diri menjadi peniup peringatan dini sebelum kerusakan yang lebih besar terjadi. Patut disesalkan, walupun bisa dipahami, bahwa media masa arus utama yang telah menjadi instrumen propaganda pemodal partisan ikut memperkuat stigma buruk pejuang kebebasan itu.
Perlu disadari bahwa reformasi semula dimaksudkan agar kekuatan Trias Politica tegak melakukan checks-and-balances. Media massa dan kaum intelektual diharapkan menguatkan investasi moral publik bagi negara demokratis. Namun angin reformasi selama Pemerintahan Jokowi-JK ini justru berbalik arah: melalui UU Ormas dan UU Anti-teror, Pemerintah cenderung makin otoriter persis seperti selama fase terakhir Orde Lama dan seluruh fase Orde Baru.
Ironi reformasi itu adalah bahwa tanda-tanda negara gagal itu makin tampak di depan mata kita: kekuasaan kehakiman masih defisit integritas, KPK kehilangan kredibilitas, POLRI diperalat menjadi mesin penyebar ketakutan masyarakat. Pada saat yang sama DPR justru menjadi oligarch tanpa kekuatan oposisi yang efektif, media massa menjadi alat propaganda pemodal partisan. DPR justru merestui berbagai regulasi yang mengekang kebebasan berserikat dan berpendapat demi stabilitas dan keamanan investasi.
Tinggal benteng kekuatan pro-demokrasi terakhir adalah universitas. Jika para civitas akademika di berbagai kampus keasyikan mengejar status dan proyek, lalu takut mengambil sikap, maka Indonesia Negara Gagal tinggal menunggu hari. Tentu sangat berbahaya bagi upaya penguatan masyarakat demokratis jika stigmatisasi kampus adalah sarang para radikal anti-Pancasila justru datang dari Menristekdikti.
Di tengah islamophobia yang marak menghinggapi banyak elit negri yang saya cintai ini, hemat saya -sebagai muslim-, sangat instruktif untuk menyatakan bahwa Islam adalah platform-tengah dengan kredo keadilan tanpa pandang bulu tiada tanding. Islam tegas menolak diskriminasi primordial dan peribadatan. Islam percaya bahwa kebebasan adalah prasyarat bagi pertanggungjawaban manusia di hadapanNya. Penjajahan, dan perampasan kebebasan oleh kekuatan-kekuatan Fir’aun adalah lingkungan yang buruk bagi Islam.
Islam, seperti Pancasila, adalah platform hidup bersama – kalimatin sawaa-in – dalam lingkungan global yang majemuk. Dalam negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, Pancasila adalah syarat perlu, sementara Islam sebagai syarat cukupnya memberi ekosistem yang kondusif bagi perwujudan Pancasila.
Seperti yang dikatakan Bung Karno, para ellite yang gagal memahami internasionalisme akan terjerumus pada nasionalisme yang sempit dan oleh karenanya gagal memberi pengalaman hidup berPancasila di kepulauan bercirikan Nusantara ini.
Di atas KA Sancaka Solo-Surabaya, 25 Mei 2018.
Lanjutkan ke: Penutup: Prasangka, Teror, dan Iman