SERUJI.CO.ID – Negeri ini didirikan dengan pikiran bermutu: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Supaya penjajahan tak berulang, maka bangsa ini harus cerdas. Karena itu, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama pemerintah. Demokrasi adalah fasilitas untuk menyelenggarakan kemerdekaan berpikir, yaitu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kecerdasan. Tetapi justru kondisi itu yang tak tersedia selama dua era sejarah politik kita.
Orde Lama dan Orde Baru; dua-duanya memusuhi pikiran. Sukarno tak menyukai “kaum intelektual”. Ia mencerca mereka sebagai “textbook thinking” kebaratbaratan. Soeharto membungkam kebebasan berpendapat, dan menjadikan “kaum intelektual” sekadar “teknokrat” untuk menjalankan pembangunan. Akumulasi kekuasaan adalah akibat dari takluknya pikiran kritis.
Keangkuhan Negara Reformasi adalah pulihnya kritisisme. Kekacauan ekonomi bertemu dengan retaknya resim Soeharto. Teknokrat mundur karena melihat perintah politik Cendana makin mengacaukan rasionalitas kebijakan kabinet. Nepotisme menjadi beban ekonomi. Tentara memutuskan mengambil jarak dari kekuasaan, memungkinkan mahasiswa menempati ruang oposisi yang lebih frontal. Tumbuh kesadaran baru tentang pentingnya hak asasi manusia, reformasi TNI, dan pemberantasan korupsi.
Semua itu adalah modal etik yang kuat untuk memulai “Indonesia Baru”. Itu dua puluh tahun lalu.
Sekarang? Setiap Kamis sore, deretan payung hitam berbaris diam di depan Istana Presiden. Tidak untuk antre sembako, apalagi berharap jabatan komisaris BUMN, melainkan cuma menuntut pemenuhan hak asasi manusia dari negara yang seharusnya beradab. Tapi rutinitas Aksi Kamisan itu kalah pamor dengan aktivitas hilir-mudik presiden untuk gunting pita dan bagi-bagi sembako. Ada jarak antara Istana dan Pegunungan Kendeng; ada pagar antara presiden dan para keluarga korban penghilangan paksa; ada ketidakadilan yang tidak ingin dipahami negara. Ada apa dengan negara?
Penjelasan pemerintah pasti panjang, dan berbelit. Yang pendek adalah pikiran politiknya: “Singkirkan HAM, Stabilitas yang Penting”. Itulah watak dasar penguasa. Rangkaian teror memang menakutkan, tetapi penyingkiran HAM jelas-jelas adalah proposal Orwellian yang berbahaya.
Reformasi tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan mental otoriter Orde Baru. Reformasi tidak disediakan untuk mengawasi gerak-gerik seluruh warga. Tugas pemerintah adalah memberi rasa aman warga, bukan mengeksploitasi ketakutan dengan cara yang juga menakutkan.
Tetapi ajaib. Justru demagogi semacam itulah yang kuat didukung oleh kaum “intelektual pro status quo”. Sekadar demi melanjutkan dendam politik, akal sehat dikesampingkan dan insinuasi dikedepankan: “Kami Pancasila!” Tentu, tapi artinya? Apa ukurannya? Siapa yang bukan-Pancasila?