Habibie telah pergi menemui Ilahi. Semoga kepergian itu lebih baik baginya. Semoga dia masuk ke surga.
Kepergian Habibie perlu menjadi momentum bagi bangsa ini untuk merenung, kenapa kita men “dewa” kan Habibie selama ini. Lalu bagaimana Indonesia tanpa Habibie?
Besarnya nama Habibie karena dia adalah manusia yang utama dan terutama dalam mendorong Indonesia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Meskipun, sejarah itu dilakoninya di masa orde baru.
Habibie perlu 21 tahun setelah kembali ke Indonesia, sejak 1974, untuk berhasil membangun kepercayaan bangsa kita menjadi bangsa berteknologi tinggi. Tepatnya, pada Agustus tahun 1995, melalui Habibie, pesawat terbang produksi pertama Indonesia berhasil dinaikkan ke udara.
Dalam buku “Note on the Economics of Innovation”, 2017, Jusman SD, yang juga menjadi manajer projek pembuatan pesawat N250, menceritakan saat pesawat itu mengudara, Habibie berkata “Indonesian people are a gifted engineers”.
Pembangunan dan industrialisasi di masa orde baru adalah seperti sebuah koin dengan dua sisi. Strategi pembangunan yang awalnya didominasi sektor pertanian bergeser ke arah industri. Melalui startegi subtitusi impor dan promosi ekspor, berbagai kawasan industri digenjot. Pada fase selanjutnya, melalui kelompok industri strategis, berbagai industri dengan teknologi tinggi dikejar. Strateginya adalah melalui pembudayaan teknologi (learning by doing) dan mengirimkan ribuan mahasiswa ke berbagai kampus ternama di luar negeri.
Keberhasilan industrialisasi di Indonesia serta transfer-in teknologi menjadi kebanggaan sendiri di masa orde baru. Sehingga enginer-enginer Indonesia mempunyai lapangan kerja yang baik dan universitas-universitas dengan fakultas teknik, bergairah tumbuh berkembang dan maju.
Habibie telah menjadi ikon bagi sukses industrialisasi dan kemajuan teknologi di masa lalu. Bahkan ketika Habibie memadukan tema iptek dengan manusia soleh (iman dan taqwa/ imtaq), kepercayaan anak-anak bangsa sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim semakin membesar. Rasa minder sebagai bangsa terkebelakang berangsur angsur hilang. Pemisahan ilmu dan agamapun hilang.
Namun, sejarah terus berjalan. Tahun 1998 krisis ekonomi dan politik memusnahkan bangsa kita, khususnya soal kebangkitan teknologi dan industri. Soal kebangkitan itu, Jusman SD mengatakan, “namun saat ini, itu hanyalah masa lalu, ‘all gone belong to the past‘”.
Sejak 1998, seluruh agenda kebangkitan industri dan teknologi hanyalah sampah. Penyakit bangsa ini sejak reformasi adalah bangsa konsumen yang bertumpu pada kekuatan eksploitasi sumberdaya alam.
Jika Suharto dan seluruh rakyat Indonesia menyaksikan produksi pesawat terbang buatan sendiri diulang tahun ke-50 kemerdekaan, saat ini presiden kita hanya bisa meresmikan “mobil rakitan mirip dari China” pada saat Indonesia 74 tahun, sebagai “mobil nasional”.
Habibie telah tiada. Kita belum melihat bakal adanya Habibie-Habibie baru. Karena Habibie itu hanya ada di era pengejaran transfer teknologi dilakukan dengan semangat. Jusman SD dalam bukunya “Note on the Economics of Innovation” melihatnya justru ini era tepat munculnya Habibie baru, era di mana Trump membuat negara menjadi penting dan teori “infant industry of Paul Krugman” bisa diaplikasikan.
Waktu terus berlalu. Inovasi, teknologi, R&D, industrialisasi, efisiensi, dll menjadi kosa kata langka. Mereka sirna bersama perginya Habibie ke alam baka.
Semoga ada kesadaran baru dari elit yang berkuasa untuk menghasilkan sejuta Habibie di republik ini.
Selamat jalan Habibie. Rakyat Indonesia menangisi kepergianmu.