Oleh: Yuslenita Muda
“I am want to go home now,” kata seorang anak gadis kecil. Dara namanya. Usianya baru empat tahun. Saat itu jam di dinding menunjukkan pukul 02.15 tengah malam waktu Inggris.
Beberapa kali membujuk rayu dirinya untuk tetap bertahan, melupakan niat untuk pulang, beberapa kali pula ia kembali menyatakan memaksa pulang. Padahal, sebelumnya, ia yang meminta kepada kedua orang tuanya agar diizinkan mabit di rumah kami. Sebelumnya, sudah beberapa kali ia mengajukan keinginan serupa, namun selalu berujung dijemput pulang dini.
Malam sebelumnya, putri associate professor Essex University asal Lumajang, Jawa Timur, ini juga meminta agar diberikan kesempatan untuk menginap di rumah seorang kerabat Warga Negara Indonesia (WNI) yang ahli di bidang ekonomi syari’ah, tempat WNI setempat biasa berkumpul membahas berbagai isu kekinian. Namun, tak sampai dua jam berselang setelah ditinggalkan, ia mulai ‘berteriak’ minta pulang. Terpaksa, ayah bundanya yang sudah sampai di rumah harus kembali menjemput.
Akan tetapi, malam itu, kami di rumah ‘bergotong-royong’ untuk membujuk dirinya yang meminta pulang larut malam agar tetap bertahan. Setelah diajak bercerita, ‘berdiskusi’, yang berujung begadang hingga mentari mengirimkan sinar kehangatannya, akhirnya gadis kecil itu pun terlelap bersama sebuah gadget menayangkan film Upin dan Upin yang masih menyala di sebelahnya. “Akhirnya,” kata kami dan kemudian mulai tidur.
***
Menginap, bermalam, atau mabit di rumah keluarga atau saudara dekat sehari atau lebih tentu sebuah hal biasa di tanah air. Kegiatan ini, bahkan sudah seperti menjadi salah satu kurikulum di sekolah dasar Islam.
Muhammad Dzakir, anak ketiga kami, sewaktu ia masih menjadi murid di SDIT Bintang Cendikia, Pekanbaru, telah mengikuti program sleepover yang dirancang oleh sekolah di rumah Fathir, temannya. Pekan berikutnya, temannya itu pula diantar oleh bundanya untuk tidur semalam di rumah kami.
Anak kami yang kedua, Syarifah Azzahra, juga pernah membawa beberapa orang teman saat masih di SDIT Al-Fitiyah, Pekanbaru, untuk menginap. Dia juga pernah menginap beberapa malam di rumah temannya yang lain, Aulia.
Demikian pula dengan anak pertama kami, Muhammad Huda Atthoriq, sewaktu masih sekolah di SDIT Imam As Syafi’i juga melakukan hal serupa, tidur dua malam di rumah Lukman Hakim bersama beberapa teman yang lainnya. Walaupun, kedua anak kami, yang pertama dan yang kedua, itu mengikuti kegiatan ini bukan dalam program sekolah.
Ternyata banyak manfaat yang didapat dari kegiatan sleepover ini. Selain mampu meningkatkan keakraban teman sekelas dan seusia, membantu sikap saling menghargai dan mengetahui rutinitas tuan rumah, juga mampu meningkatkan disiplin dan tanggung jawab anak-anak secara bersama. Kegiatan ini juga dapat memperlama dan mengontrol waktu bermain, tentu juga mampu memperkuat silahturrahiim orang tua masing-masing. Manfaat lainnya adalah lebih mudah mengendalikan mereka untuk menunaikan ibadah, seperti shalat berjamaah dan mengaji.
Kebiasaan untuk sleepover ini sepertinya dapat menjadi salah satu jalan untuk mencari ketenangan, menyelesaikan sedikit masalah, atau mencari suasana baru. Pilihan ini biasa dilakukan oleh mahasiswa Indonesia ketika baru tiba di negeri orang yang jauh dari keluarga, anak, istri, suami, dan orang tua. Keluarga masyarakat Indonesia juga biasa saling berkunjung ke rumah WNI di kota lain, lalu bermalam, baik karena ada tugas atau sekadar berjalan-jalan. Sering terjadi keluarga yang dikunjungi dan akan ditempati rumahnya tidak pernah dikenal sama sekali oleh sang tamu. Hanya bermodal rekomendasi dari WNI lain, minta nomor dan nama, dihubungi, lalu terjalinlah persaudaraan baru.
Kami yang tinggal di bagian timur Kota London, berjarak satu jam menggunakan kereta api pernah diterima oleh keluarga WNI di Kota Portsmouth, menginap di Kota Leeds, Kota Manchester, Kota Glasgow, dan termasuk di Kota London. Sebaliknya, kami juga pernah kedatangan tamu dari Glasgow, Manchester, London, Sheffield, Belfast (Ibu Kota Irlandia Utara), dan dari dalam Kota Cholcester sendiri.
Ada pula mereka yang baru tiba dari Indonesia atau juga dari Eropa, seperti Amsterdam, Belanda, tinggal di tempat kami beberapa malam. Sebagian besar kami tidak pernah bertemu atau kenal sebelumnya, dan hanya baru kenal setelah tiba di rumah. Akan tetapi, kini seperti telah menjadi seperti keluarga sendiri.
Bahkan, saya selama beberapa malam ditemani oleh mahasiswa yang lainnya di kamar kos baru karena rindu pada keluarga yang ditinggalkan di tanah air ketika pertama kali menjejakkan kaki di negeri Elizabeth ini. Juga seperti dilakukan oleh Zenita Gibbon, mukimin WNI yang bersuami British asli yang memang sudah biasa menampung orang Indonesia menginap di rumahnya beberapa malam sekadar untuk berbagi cerita meringankan beban akibat perasaan rindu jauh dari keluarga.
Anak-anak, seperti yang dilakukan oleh Adelin, siswa tahun ke-5 di Hazelmere School, yang saat ini sudah kembali ke Indonesia karena orangtuanya telah menyelesaikan studi di Essex, bahkan menyediakan diri menemani saya di akhir pekan.
Kami temukan banyak anak-anak WNI yang mengikuti orang tuanya sebagai mahasiswa atau bekerja di UK, juga orang asing yang biasa sleepover ke rumah WNI yang lainnya. Ada beberapa alasan hal ini dilakukan. Pertama, sang anak merasa cocok untuk berteman dengan anak WNI yang lainnya di lingkungan masyarakat Barat bebas yang sulit untuk ditapis.
Dinara, siswa primary school tahun pertama sekolar dasar, sudah biasa sleepover di rumah kami, walaupun usianya tidak sebaya dengan anak kami. Berbeda dengan Aisyah yang duduk di sekolah dasar tahun kelima, sudah biasa bermalam karena cocok berteman dengan anak bungsu kami. Tiga kakak beradik dari keluarga Luqyan-Ani, Layyina, Hayyan, dan Rayyan yang belajar di Gilbert School, juga biasa untuk sleepover karena usia mereka cenderung sama, walaupun asal sekolah mereka dengan anak kami berbeda.
Kedua, karena alasan belajar. Tidak dimungkiri terkadang anak-anak lebih mudah untuk belajar bersama, mengerti pemecahan masalah yang diberikan di sekolah. Termasuk dalam kategori ini adalah belajar dengan orang tua temannya sendiri. Bahasa dan pendekatan yang digunakan bisa menjadi penyebab alasan mengapa anak-anak enggan belajar suatu hal melalui orang tuanya sendiri, sehingga menemukan alternatif di luar rumah. Positifnya, tempat mencari alternatif adalah keluarga WNI sendiri, sehingga dapat berkomunikasi secara dua arah.
Alasan ketiga, ada kemungkinan sebagai tempat pelarian. Sebut saja Airis, remaja putri menjelang aqil baligh asal Ghana yang telah menetap lama di UK. Teman satu sekolah anak kami yang perempuan ini beberapa kali mengaku ingin sleepover di rumah kami. Sayangnya, setiap ia minta izin untuk menginap satu atau dua malam di akhir pekan, dia tidak pernah mendapatkannya. Dia mengaku beberapa kali mendapat kekerasan fisik dari ayah dan ibunya. Di rumah, kata Airis yang sering berdiskusi membanding-bandingkan Injil dan Al-Qur’an dengan putri kami ini, jarang bisa makan malam dan sarapan. Bila ia ingin makan, ia harus menyiapkan sendiri, setelah begitu banyak pekerjaan membereskan rumah tuntas ia kerjakan sepulang sekolah.
Lain lagi dengan Abdul Manan dan Abikee, asal Nigeria, yang juga sempat beberapa kali sleepover di kediaman kami atas dua alasan. Tidak ada yang mengasuhnya pada saat orang tuanya yang berasal dari Nigeria harus [mengikuti] konferensi di luar Inggris atau di kesempatan lain harus bekerja paruh waktu di Kota London. Syukurnya, kedua kakak beradik balita ini begitu mudah beradaptasi dengan kondisi sosial, makanan, dan budaya keluarga Indonesia. Bahkan, mereka minta untuk bermukim lebih lama lagi. Ada pula Lily, warga keturunan Italia dan British. Ia sempat sleepover di rumah kami karena faktor kesenangan saja.
Di luar itu semua, ada juga yang kombinasi dari beberapa alasan di atas. Apa pun alasannya, kegiatan sleepover ternyata bermanfaat untuk membangun kohesi sosial, keterikatan serta pembangunan karakter, saling memahami, dan membangun sifat toleransi.
Dari kegiatan ini muncul sikap menghargai kebiasaan tuan rumah, serta menoleransi budaya yang beragam, agama yang berbeda, atau tingkat sosial, dan pendidikan berjenjang. Membangun fondasi kekuatan masyarakat beradab, yang berkarakter, toleran, memahami, dan madani untuk masa depan dapat dimulai dari sini, sleepover. Namun, yang perlu diingat adalah kegiatan ini harus dikomunikasikan bersama dan selalu dalam pengawasan orang tua. (*)
*Penulis adalah Dosen FST Jurusan Matematika UIN Suska Riau yang tengah menempuh Ph.D program di Department of Mathematical Science, Essex University, UK