Nathaniel Kriehn, dari Leeds Beckett University, melemparkan pertanyaan “What is a hero?” dalam situs researchgate.net, yang mendapat tanggapan dari 27 intelektual dari 27 kampus berbagai negara di dunia.
Dalam setengah dialog tentang pahlawan di situ menunjukkan beberapa hal penting untuk disimak tentang siapa itu pahlawan. Pertama, pahlawan itu adalah “pahala wan”, yang harus dibedakan dengan idol maupun “cultural icon“. Pahala wan adalah orang baik atau berbuat baik atau “altruism” dengan mengorbankan kepentingan dirinya demi masyarakat.
Kedua, pengertian ini akan mengalami distorsi dalam relasi terhadap perbedaan kultur, tempat dan waktu. Di Jerman, dulu misalnya pahlawan itu hanya dikaitkan dengan “warrior”, alias pahlawan dalam perang. Ketiga, popular culture saat ini dapat menciptakan pahlawan dalam “fictional hero” yang ukurannya kadang dapat melebihi batas standar manusia biasa, seperti Superman, maupun membalikkan persepsi hero (pahlawan), seperti Joker sebagai pahlawan kaum miskin kota melawan Batman.
Dalam konteks Indonesia dan Hari Pahlawan saat ini, pahlawan yang kita definisikan adalah ala klasik yang merujuk pada pengorbanan seseorang untuk membela masyarakatnya, khsusunya rakyat kecil. Merujuk pada itu, Sukarno dan para “founding fathers” adalah pahlawan sejati.
Apakah Ada Pahlawan Seperti yang Kita Cicarakan di Atas?
Setelah 74 tahun Indonesia merdeka memang kita kesulitan mencari pahlawan. Pahlawan yang disodorkan dan dibentuk persepsinya oleh media bervariasi dari fake hero, fictional hero, idol dan cultural icon. Fake hero adalah pahlawan palsu. Pahlawan palsu biasanya menjual sisi dirinya yang seolah-olah pro rakyat miskin, hidup menderita, pakaian dari kemeja sampai sepatu super murah, berjanji berkerja untuk rakyat miskin, dll.
Sedangkan Fictional Hero atau Pahlawan Fiksi adalah ala komik superhero. Semua sisi hidupnya tidak ada salah. Sementara itu idol adalah simbol figur pujaan kontestasi, yang diinisiasi media mainstream. Sedangkan cultural icon menunjukkan seseorang dan sesuatu yang merepresentasikan sebuah budaya atau kebudayaan tersebut. Misalnya jika ada elit nasional memakai blankon dan kostum Jawa, seolah-olah dialah mewakili seluruh perasaan atau simbol Jawa.
Bagaimana kita mengetahui seseorang hanya pahlawan palsu, bukan yang sebenarnya? Hal ini hanya bisa dilihat dari konsistensi janji pemimpin tersebut baik lisan maupun verbal terhadap realisasinya. Jika pemimpin-pemimpin tersebut berjanji membuat pemerintahan pro rakyat miskin, tapi yang memerintah mayoritas adalah orang-orang kaya, alias taipan alias konglomerat, maka dipastikan bahwa orang miskin akan semakin miskin nantinya.
Pahlawan palsu juga dapat didekati dengan persepsi baru terhadap sebuah konsep. Christopher Columbus, penemu Amerika abad ke-15, setiap tahun diperingati sebagai hero yang membawa keberkahan bagi orang-orang Eropa, sehingga bisa mendiami Amerika. Namun, saat ini persepsi tentang dia berubah karena perbuatan Columbus di masa lalu bukan dianggap kejahatan, saat ini dianggap kejahatan.
Perbuatan dia itu, sebagaimana diulas dalam history. com : 1) menjadikan orang-orang asli Amerika (Indian) sebagai budak dengan kejam, 2) meng-Kristen kan mereka secara paksa dan 3) membawa penyakit baru ke orang-orang Indian (the introduction of a host of new diseases that would have dramatic long – term effects on native people in the Americas).
Karena berubahnya persepsi tentang perbudakan, maka di beberapa negara bagian Amerika seperti South Dakota, Florida, Hawaii, Vermont, New Mexico dan Maine, saat ini Columbus dianggap penjahat.
Dalam kecanggihan Big Data saat ini, mengenali seseorang dapat dilakukan dengan cepat. Para elit berbohong dapat diketahui karena Big Data akan memperlihatkan siapa mereka. Seorang pemilik korporasi, atau perjalanan hidupnya mayoritas dalam perusahaan, misalnya, pastilah menjalani prinsip kehidupan ekonomi “dengan modal sekecil-kecilnya, untuk dapat untung sebesar-besarnya”, “mendahulukan untung baru kelompok bisnisnya, baru sisanya dibagi orang lain sebagai CSR” dan terakhir “market place” adalah satu-satunya ruang (dominan) kehidupan di dunia.
Jika para pebisnis, misalnya, bekerja katanya untuk kepentingan rakyat, itu sulit terjadi. Bukan tidak mungkin, namun hampir mustahil. Sehingga jika ada pejabat publik dari kalangan bisnis ingin jadi pahlawan, maka media atau kelompok-kelompok PR (propanda) harus bekerja ekstra keras menceritakan sisi tertentu terkait keuntungan yang diperoleh rakyat atas kehadiran dirinya. Ini adalah kerja pencitraan.
Ketika mayoritas elit berkuasa di Indonesia adalah bagian oligarki kapitalis alias orang kaya, maka mengharapkan adanya pahlawan untuk rakyat jauh panggang dari api. Oligarki Kapitalis ini bukan lagi sekedar pemodal di belakang layar, seperti satu dekade lalu, tapi sekarang tampil langsung menjadi penguasa.
Lalu Bagaimana Rakyat Miskin Bisa Mempunyai Pahlawannya?
Untuk itulah kita secara jeli melihat pemimpin yang terhubung dengan kepentingan rakyat. Dalam hal tulisan ini kita kaitkan dengan Anies Baswedan.
Mempertimbangkan Anies karena dua hal, pertama, skala kekuasaannya. Kedua, karirnya ke depan. Skala kekuasaannya yang tunggal, melingkupi penduduk dua kali New Zealand atau Denmark secara solid (tidak seperti provinsi lain), serta skala ekonomi yang dikendalikan membuat ukuran kekuasan Anies sangat besar. Sementara itu karir Anies untuk menjadi presiden ke depan sangat terbuka. Berbagai survei menunjukkan Anies jauh di atas Prabowo untuk capres mendatang.
Apakah Anies bisa disebut pahlawan? atau sekedar penguasa yang baik?
Pahlawan adalah pilihan politik mengandung resiko, baik dinista, dihina, maupun diruntuhkan. Sedangkan penguasa yang baik cukup dengan menjalankan agenda-agenda standar dan “governance“.
Ridwan Saidi, tokoh budayawan dan Betawi yang sangat senior, beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa Anies sedang berjuang dalam politik geografis-demografis. Penghentian reklamasi Jakarta, menurutnya, dilakukan Anies agar keseimbangan penguasaan teluk Jakarta dan komposisi penduduk yang mendiami daerah itu seimbang antara Pribumi dan Non Pribumi. Menurutnya, politik seperti ini langka dan hanya ditemukan pada sosok yang dalam nilai perjuangannya bagi bangsa kita. Jadi, dari sisi ini Anies bukan sekedar ingin berkuasa.
Tentu saja konsep politik Anies juga banyak yang mendasarkan kebijakannnya pada pilihan ideologis. Pilihan ideologis maksudnya adalah mengutamakan orang-orang miskin. Dalam merestorasi kampung bersejarah yang dihancurkan di masa Gubernur lalu, seperti Kampung Aquarium, Anies bukan saja akan merestorasi tempat bersejarah, seperti makam bersejarah Luar Batang, tapi juga perkampungan penduduknya.
Secara keseluruhan, konsep Anies diibaratkan “elevator” dalam menjelaskan mobilisasi vertikal masyarakat. Orang-orang kaya dapat tetap naik menjadi kaya, namun orang-orang miskin harus ikut menjadi kaya.
Membangun infrastruktur, misalnya dapat menguntungkan kedua kelompok, kaya dan miskin. Namun, membagi porsi infrastruktur agar menjadi alat produksi orang miskin, seperti memberdayakan bagian trotoar buat PKL, secara “manageable“, bukanlah konsep biasa, melainkan sebuah konsep ideologis, sebuah pemihakan.
Menurut Jeffrey Sach, pakar kemiskinan dunia, memberi kaya orang miskin harus dilakukan dengan dua hal, pertama “memberi pancing”, kedua, memberi juga ikannya.
Anies sebagaimana Sach memberi pancing atau kail ketika membuka akses rakyat miskin pada aset atau kapital, dan sekaligus memberi “ikan” nya melalui berbagai program subsidi. Pikiran Jeffrey Sach ini, di Indonesia, hanya bisa dijalankan Anies Baswedan. Kenapa? karena dia tidak menjadi bagian oligarki kapitalis yang mencengkram semua lini kekuasaan saat ini.
Penutup
Hari ini adalah hari pahlawan. Pahlawan adalah pahala-wan. Manusia yang sejatinya ketika berkuasa bekerja semata-mata hanya untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan cukong.
Anies Baswedan sudah dua tahun bergerak mendorong keseimbangan ibukota, agar orang kaya tidak mengontrol nasib rakyat Jakarta. Untuk agenda itu Anies harus berhadapan dengan kekuatan oligarki kapitalis dan kaki tangannya yang selalu mencari celah menghancurkan karirnya.
Namun, seperti tetesan air yang terus menerus menghancurkan batu cadas, agenda Anies membangun Jakarta sekaligus kota dan rakyatnya, terus berhasil mendorong transformasi sosial yang baik. Orang-orang miskin semakin termanjakan dan fungsi sosial negara semakin dalam.
Untuk itulah kita yakin bahwa Anies Baswedan, meski oara musuh mencari berbagai kesalahan, tetap sejatinya Anies seorang pahlawan, khususnya pahlawan bagi kaum tertindas. Kaum marginal. Kaum miskin Jakarta.