Kali ini saya tidak setuju dengan Dahlan Iskan. Mantan Menteri BUMN ini mengusulkan Ignasius Jonan untuk menduduki posisisi Dirut alias CEO Garuda Indonesia. Dahlan menjadikan catatan prestasi Jonan di KAI (PT Kereta Api Indonesia) menjadi pertimbangan pentingnya.
Saya tidak setuju. Menurut saya, Arif Wibowo, mantan dirut Garuda, Â jauh lebih tepat dari pada Jonan untuk posisi orang nomor satu di perusahaan listed ini. Mengapa? Paling tidak ada 3 alasan.
Pertama, KAI dan Garuda sangat berbeda dalam karakter industri. KAI berada pada industri yang monopoli. Garuda berada pada industri yang persaingannya sangat ketat. Untuk industri yang monopoli seperti kereta api, yang dibutuhkan hanya perubahan internal perusahaan. Tidak ada perlu pertimbangan kemampuan pemasaran. Orang seperti Jonan yang memiliki kemampuan perubahan tepat sekali untuk KAI. Dan ini sudah terbukti.
Bagaimana dengan Garuda? Garuda bersaing ketat dengan maskapai lain di semua rute yang diterbanginya. Persaingan ketat menuntut direksi untuk memahami pasar dengan detail dan mendalam. Ini  tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Oleh siapapun. Termasuk Jonan.
Berbeda dengan Arif Wibowo. Arif adalah orang yang sejak lulus kuliah berkarir di Garuda. Karirnya terus menanjak sampai kemudiaan menduduki posisi sebagai dirut Citilink. Setelah itu naik lagi menjadi dirut Garuda Indonesia.
Arif bisa disejarkan denga Goh Choon Phong, CEO Singapore Airlines. Phong telah berkarir di maskapai yang juga dikenal dengan sebutan SQ itu lebih dari 20 tahun sebelum akhirnya diangkat menjadi CEO tahun 2010. Kini sudah 9 tahun mejadi komandan pasukan maskapai kelas dunia pesiang Garuda beromzet SGD 16,3 miliar itu.
Arif bergabung di Garuda tahun 1990. Dipercaya menjadi dirut Citilink tahun 2012 alias setelah 22 tahun berkarir di perusahaan plat merah tersebut. Dua tahuh kemudian, 2014, dipercaya menjadi Dirut Garuda. Arif telah melalaui karir 24 tahun dan menapaki proses kaderisasi Garuda langkah demi langkah sampai akhirnya berada di posisi tertinggi.
Arif diberhentikan oleh Rini Sumarno, menteri BUMN ketika itu, pada tahun 2017 alias setelah 3 tahun menjabat.
Jika dikembalikan sebagai dirut Garuda, Arif akan seimbang head to head dengan Phong. Seperti juga SQ yang dalam banyak hal head to head dengan Garuda. Phong kelahiran 1963. Arif kelahiran 1966. Phong kini telah malang melintang di maskapai berlaba SGD 683 juta itu sepanjang lebih dari 27 tahun. Tujuh tahun terakhir menjadi CEO. Arif telah malang melintang di Garuda selama 27 tahun juga. Tiga tahun menjadi CEO dengan kinerja bagus. SQ-Garuda akan menjadi pesaing yang sangat imbang.
Kedua, bangsa ini harus kembali ke jalur kaderisasi yang tertata untuk semua bidang. Kembali ke tradisi para founding father negeri ini. Bung Karno dan Bung Hatta adalah teladan yang baik. Beliau menjadi predisen dan wakil presiden bukan hasil karbitan. Berdua telah berkarir di bidang politik sejak mahasiswa. Maka, mengembalikan kursi Dirut Garuda kepada Arif Wibowo adalah mengembalikan bangsa ini pada proses kaderisasi yang matang untuk bidang apapun.
Ketiga, Garuda mesti belajar menjadi perusahaan yang sistem kaderisasinya matang. Saya sudah menulis khusus tentang hali ini. silakan baca link ini. Direksi cabutan adalah tanda busuknya sistem kaderisasi sebuah perusahaan. Kasus Ari Ashkara telah menjadi penegur bangsa ini. Mari kembalikan Garuda sebagai perusahaan yang jalur kaderisasinya matang. Tidak perlu direksi cabutan dari luar. Agar imbang head-to head dengan Singapore Airlines.
Apakah CEO yang telah diberhentikan boleh balik kucing? Boleh. Kita bisa belajar dari Jaime J Bautista. Philiphina Airlines menarik kembali dedengkot airlines itu untuk kembali memegang tampuk pimpinan ketika maskapai kebanggaan Filipina itu mengalami goncangan. Garuda juga bisa! Merdeka!