KATARSIS.ID – Melihat semakin banyaknya perpecahan dan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat, mulai dari suami dan istri di rumah tangga, ketua dan pengurus serta anggotanya di berbagai organisasi. Juga, kepala daerah dengan wakilnya dan juga dengan masyarakatnya di berbagai wilayah, Bahkan, kepala negara atau pemegang kekuasaan pemerintahan dengan sebagian rakyatnya, sampai kepada sesama warga masyarakat dan juga sesama umat di kalangan penganut bebagai agama dan aliran. Membuat kita menjadi merasa perlu untuk merenungi kembali makna yang terkandung dalam hadis Nabi, “tidaklah beriman seseorang kamu, sampai kamu mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri.”
Nabi mengukur kesempurnaan iman seseorang dengan cinta. Seberapa besar cinta seseorang kepada saudara atau temannya, sebesar itu pulalah ukuran iman yang dimiliki oleh orang tersebut.
Bila persaudaraan atau persahabatan adalah sebuah ikatan, maka cinta adalah alat pengikatnya. Semakin besar dan semakin kuat alat pengikat itu, semakin besar dan semakin kuat jugalah persahabatan tersebut.
Apakah Cinta Itu?
Para ahli hikmah bertutur bahwa cinta bisa berarti kehidupan, ambisi, keindahan, kekuatan, dan keperwiraan. Bila cinta jatuh ke air, ia akan meciptakan kejernihan. Bila cinta menyentuh angin, ia akan menebar wangi. Dan, bila cinta jatuh di taman, ia akan menghembuskan sejuk dan pesona.
Interaksi dan persahabatan tanpa cinta, adalah kepura-puraan dan kamuflase. Ibadah tanpa cinta adalah upacara ritual nan sia-sia. Membaca al-Qur’an tanpa cinta adalah komat kamit tanpa makna. Dan, dakwah tanpa cinta adalah igauan kosong yang tak berguna.
Mencinta adalah memberi, memberikan yang terbaik untuk orang yang dicintai, sama baiknya dengan apa yang diingini untuk diri sendiri. Itulah pesan Nabi, dan itu pula kini yang mendegradasi.
Mencinta berarti memberi energi kepada yang dicintai, dan bukan menyedotnya dari yang dicintai. Inilah makna cinta, makna ingin memberi, bukan makna ingin memintai. Mencinta berarti menunaikan kewajiban, bukan menyalurkan kepentingan.
Mudahnya perpecahan dan sengketa terjadi di kalangan masyarakat dan umat akhir-akhir ini karena ikatan seperti yang diajarkan oleh Nabi di atas bukan berupa cinta yang diajarkan nabi untuk saling memberikan yang terbaik untuk yang dicintai, tetapi cinta yang diajarkan oleh selain Nabi untuk saling memgambil yang terbaik dari yang dicintai.
Bukan kewajiban yang ditunaikan, tetapi kepentingan yang diperebutkan. Berebut kepentingan dalam sebuah ikatan, sama halnya dengan meningkatkan ketegangan, yang lambat laun akan memutuskan ikatan cinta.
Ketika urat cinta telah putus, yang terjadi adalah silang sengketa perpecahan, pecah belah antara sesama umat. Yang keluar dari mulut bukan kata-kata sejuk pengokoh ikatan, tetapi kata-kata panas yang memutus ikatan.
Bila ini yang terjadi di satu bangsa, atau suatu umat, maka tidak akan ada yang didapat kecuali kehancuran. Ada politisi yang berpidato, pidato tanpa cinta, sehingga yang keluar dari mulutnya adalah tudingan dan hujatan.
Ada ustaz yang berceramah, ceramah tanpa cinta, sehingga yang keluar dari mulutnya adalah tuduhan dan gugatan dengan kalimat-kalimat kasar jauh dari makna dakwah, bukan himbauan dengan kalimat-kalimat manis semanis cinta yang diajarkan Allah dan Rasulullah untuk selalu berlemah lembut, jauh dari kekasaran mulut dan kekesatan hati.
Tidak akan ada yang dapat dipetik dari kekasaran dan kekesatan hati, kecuali perpecahan. Dan tidak akan ada yang akan beruntung dari dua orang atau dua kelompok yang bertengkar dan bersiteru, kecuali pihak lain yang ingin menangguk di air keruh.
Cinta bisa tumbuh bila dan dimana saja dengan mudah. Tetapi membiarkannya hidup tanpa pupuk untuk saling memahami dalam keberbedaan dan merawatnya dengan kesungguhan, berarti membiarkan cinta lapuk bagaikan tanaman yang tidak disiram dengan air dan kesejukan, lalu rapuh diterpa angin dan hama yang datang tanpa diundang.
Hidup adalah kompetisi. Begitu sunnah dari ilahi. Cinta adalah pengikat hati bagi semua orang hidup yang berkompetisi itu. Kelupaan merawat cinta, adalah kelengahan merawat ikatan hidup yang sejati. Maka, di situlah fungsi sejatinya dari silaturrahim yang diajarkan oleh Nabi.