Hari ini tagar Gerakan #BelanjaDiWarungTetangga menjadi trending topic di Twitter. Saya pun tertarik menggerakkan 10 jemari saya di keybord laptop. Belanja di warung tetangga memang nampak sangat bagus. Heroik. Tetapi ada pertanyaan menarik. Jika Anda juga memiliki warung, mana lebih utama, berbelanja di warung tetangga atau di warung anda sendiri?
Trending topik itu bisa muncul karena korporatisasi belum menjadi mindset umum. Ekonomi berjamaah belum menjadi kerangka pikir umum. Yang ada adalah sebaliknya, bisnis perseorangan. Infirodhi dalam bahasa arab. Bisnis sendiri-sendiri.
Misalnya Anda membutuhkan air minum kemasan dan camilan. Di sekitar rumah Anda ada dua warung. Yang satu adalaah milik pak Fulan, tetangga Anda. Satunya lagi Alfamart. Dengan doktrin “Belanja di Warung Tetangga” maka dengan mudah Anda akan memilih belanja di warung pak Fulan. Beres.
Tetapi semua orang tahu bahwa Alfamart adalah perusahaan publik. Siapa saja bisa menjadi pemegang saham dengan membelinya di lantai bursa. Siapa saja yang memiliki saham akan menikmati deviden dari laba toko yang gerainya berjumlah sekitar 16 ribu tersebut.
Jika Anda memiliki saham Alfamart dan kemudian memilih belanja di warung pak Fulan, Anda tidak akan menikmati laba dari toko pak Fulan. Sebaliknya, jika Anda memutuskan belanja di Alfamart, uang yang digunakan belanja tersebut akan tercatat di laporan keuangan Alfamart sebagai pendapatan.
Sekitar 17% dari uang yang Anda belanjakan itu akan menjadi laba kotor. Laba kotor dari seluruh toko Alfmart kemudian digunakan untuk membayar gaji pegawai, sewa gedung, membayar listrik dan sebagainya. Sisa setelah semua biaya dibebankan namanya laba. Laba itu adalah hak Anda sebagai pemegang saham.
Artinya, laba atas pembelian air kemasan dan camilan tadi akan jatuh ke tangan Anda sendiri. Tentu saja dibagi dengan pemegang saham lain sesuai proporsi kepemilikannya. Sebagian laba akan dibagikan sebagai dividen, sebagaian dibiarkan di perusahaan untuk ekspansi berikutnya. Proporsi dividen dari laba diputuskan dalam RUPS. Anda dan semua pemegang saham sekecil apapun akan diundang dalam RUPS.
Dalam ekonomi modern, semua orang, apapun profesinya menyisihkan sebagian pendapatannya untuk investasi. Paling tidak sekitar 10% pendapatan. Uang itu kemudian diinvestasikan dengan prinsip “jangan taruh telormu pada satu keranjang”. Saham adalah salah satu bentuk investasi yang memiliki daya tampung paling besar dibaanding sarana investasi lain termasuk properti.
Sisi lain, yang disebut bebas finansial adalah orang yang pendapatan dividen dan investasi lain cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam ekonomi seperti ini, setiap perusahaan akan terdorong untuk terus menerus membesar menampung dana investasi masyarakat. Seperti Alfamart itu.
Dari ekuitas (modal sendiri) Alfamart senilai Rp6,018 triliun, yang berasal dari pendriri hanya sekitar Rp200 miliar. Selebihnya berasal dari para pemegang saham non pendiri dan laba ditahan.
Alfamart adalah milik ribuan bahkan jutaan orang. Termasuk saya juga punya sahamnya waalaupun tidak besar. Itulah yang menjelaskan kenapa Alfamart yang 11 tahun lebih muda dari Indomaret tetapi kini jumlah gerainya hampir sama. Alfamart menerapkan konsep ekonomi berjamaah dalam alam modern. Alfamart melakukan korporatisasi. Indomaret sampai saat ini belum.
Bagaimana? Jelas kan? Kembali ke pertanyaan tadi, jika Anda pemegang saham Alfamart seperti saya, pilih mana? Belanja di warung tetangga atau warung sendiri?
*)Artikel ke-236 ini ditulis pada tanggal 7 Nopember 2019 oleh Iman Supriyono di kantor pusat SNF Consulting