Saat memimpin PBNU, tepatnya 1 Juni 1990, Gus Dur mendirikan Bank BPR Nusuma. Dengan level ketokohannya, saya yakin mimpi Gus Dur adalah menghadirkan bank besar dari komunitas NU. Dari NU untuk masyarakat luas. Apalagi pendirian itu dilakukan dengan menggandeng Edward Soeryadjaya, tokoh dibalik Bank Suma, salah satu bank swasta besar ketika itu. BPR sebagai “baju kecil” Nusuma adalah langkah awal.
Dengan semangat yang kurang lebih sama, tahun 2002 PP Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Buya Syafii Maarif melakukan akuisisi terhadap Bank Swansarindo International. Bank yang akar sejarahnya bermula tahun 1990 sebagai BPR itu kemudian diubah namanya sebagai Bank Persyarikatan Indonesia. Persyarikatan adalah nickname Muhammadiyah dalam komunikasi internal organisasi yang telah berusia seabad lebih itu.
BPRS Nusuma dari kalangan NU. Bank Persyarikatan dari kalangan Muhammadiyah. Sama-sama dari komunitas muslim. Sama-sama berangkat dari sebuah mimpi besar. Dan…ternyata juga bernasib sama. Berat dalam menghadapi persaingan pasar perbankan yang memang sangat kompetitif.
Nusuma jatuh bangun. Apalagi Bank Suma akhirnya ditutup oleh BI pada tahun 1992. Gus Dur sampai pernah meminta tolong Dahlan Iskan untuk menyelamatkannya dengan uang dan keahliannya. Kini Nusuma masih hidup. Tapi sangat kecil dibanding perputaran uang industri perbankan nasional. BPR Nusuma Jawa Timur hanya beraset Rp 93 miliar pada laporan terbarunya di laman OJK.
Bank Persyarikatan? Setali tiga uang. Kalah dalam persaingan industri perbankan yang sangat ketat. Pernah terancam ditutup oleh BI. Tahun 2005 diselamatkan dengan menjadi anak asuh Bank Bukopin. Tahun 2008 berubah nama menjadi Bank Syariah Bukopin. Mimpi Muhammadiyah berperan besar dalam percaturan industri perbankan nasional belum menjadi kenyataan. Pilar ekonomi yang merupakan pilar ketiga bagi Muhammadiyah setelah pendidikan dan kesehatan belum tercapai.