Kanal

Pro-Kontra

Populer

Kirim Tulisan

Ahok dan Kemustahilan Pertamina

Bagaimana jika Ahok diangkat menjadi CEO alias  dirut Pertamina? Bagaimana kalau sebagai komisaris utama? Bahasan dari kaca mata politik sudah banyak. Saya akan membahasnya dari kaca mata manajemen dan strategi  perusahaan. Mari…..

Sebagai perusahaan, Pertamina bersaing dengan oil & gas company yang lain. Persaingan ada di hulu dan hilir. Di hilir misalnya kini sudah muncul SPBU Shell, Petronas, dan BP. Karena persaingan sudah dibuka maka tidak tertutup kemungkinan untuk masuknya pesaing-pesaing lain di sektor riteal BBM.Tetapi paling tidak untuk sementara kita masih bisa bernafas lega karena sampai saat ini logo pertamina masih sangat mendominasi SPBU dimana-mana.

Bagaimana dengan sektor hulu. SNF Consulting, consulting firm tempat saya berkarya, pernah menelusuri datanya tahun lalu dan menemukan bahwa 84% ladang minyak kita ditambang oleh perusahaan-perusahaan asing. Silakan baca detailnya di tulisan ini.

Mengapa Pertamina kalah di hulu? Paling tidak ada dua  faktor penting. Pertama adalah Efisiensi. Kedua aadalah kapabilitas CEO.


Tentang efisiensi ini jika diurut-urut ujungnya adalah cost of capital. Sebagai gambaran, jika ada peluang menambang ladang minyak baru, kriteria kelayakan BP adalah ROI sebesar 3,58%. Artinya, jika menginvestsikan dana Rp100 triliun untuk ladang minyak baru, BP hanya dituntut hasil sebesar Rp3,58 triliun per tahun.

Bahkan, kalau dihitung secara cash flow investor hanya 0,062%. Artinya, Investasi mengelontorkan kas Rp 100 triliun disebut layak jika tiap tahun mampu menghasailkan uang kas sebesar Rp62 miliar. Angka-angka itu adalah didasarkan pada data finansial BP hari ini. Angka itu dicapai karena BP melakukan korporatisasi, membuka pintu bagi masuknya dana ekuitas.

Bagaiman Pertamina? Memperhatikan laporan keuangan dan strategi Pertamina selama ini, sumber pendanaan BUMN ini adalah utang. Ini terjadi karena Pertamina tidak melakukan korporatisasi. Jika ada peluang ladang minyak baru, Pertamina harus pinjam bank atau obligasi. Jika tingkat bunga 10% artinya proyek penambangana baru layak jika menghasilkan ROI diatas 10%. Investasi Rp100 triliun misalnya baru layak jika mampu menghasilkan laba Rp10 triliun per tahun.

Jika utang bank tersebut harus dibayar lunas dalam waktu 5 tahun, artinya proyek baru layak jika tiap tahun mampu menghasilkan uang kas 30%. Rinciannya, 10% untuk bunga dan 20% untuk cicilan pokok. Investasi menggelontorkan kas Rp 100 triliun baru akan layak jika mampu menghasilkan kas Rp30 triliun per tahun. Bandingkan dengan BP di atas yang hanya Rp3,58 triliun pertahun.

Setiap proyek apapun harus melalui studi kelayakan. Dan ujung dari analis studi kelayakan adalah itung-itungan finansial seperti itu. Sebuah ladang minyak yang sangat layak menurut hitungan BP menjadi sangat tidak layak menurut Pertamina. Perbedaanya adalah pada syarat ROI dan arus kas seperti di atas. Inilah penyebab kekalahan telak pertamina dalam perebutan kesempatan mengoperasikan ladang-ladang minyak di tanah air.  Apa lagi di luar negeri. Tulisan pada link ini menjelaskannya faktor pertama ini lebih detail.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulisnya. Tak sependapat dengan tulisan ini? Silahkan tulis pendapat kamu di sini

Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulisnya. Redaksi Katarsis.id tidak memiliki tanggungjawab apapun atas hal-hal yang dapat ditimbulkan tulisan tersebut, namun setiap orang bisa membuat aduan ke redaksi@katarsis.id yang akan ditindaklanjuti sebaik mungkin.

Ingin Jadi Penulis, silahkan bergabung di sini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iman Supriyono
Iman Supriyono
SNF Consulting

Artikel Terkait