Kemudian terkait perbaikan organisasi (birokrasi), kedua kelompok menyepakati dua hal utama yaitu, peningkatan pengendalian intern dan supervisi; dan pemilihan pejabat publik secara selektif. Yang menarik, di bidang politik kedua kelompok bersepakat untuk memprioritaskan perhatian pada transparansi keuangan partai politik dan peningkatan komitmen para politisi. Sementara di bidang penindakan (hukum) kedua kelompok juga memiliki pandangan yang sama terkait tiga prioritas penting, berupa penciptaan suatu lembaga independen; melawan organisasi kejahatan; dan memberikan sanksi yang lebih berat pada pelanggaran (pelaku korupsi).
Refleksi untuk Indonesia
Hasil survei diatas sangat bermanfaat untuk kita refleksikan dalam konteks Indonesia, khususnya terkait penyebab terjadinya korupsi. Sudah banyak tulisan yang mempermasalahkan moral dan value para politisi dan pegawai negeri kita. Ketika banyak politisi dan pegawai negeri terjerat korupsi, wajar jika kita mempertanyakan bagaimana moral dan value mereka. Namun demikian kita perlu mengkritisi salah satu gagasan kelompok pakar di negara lower income untuk menaikkan gaji para politisi dan pegawai negeri. Rasanya obat ini perlu dipertanyakan “keampuhannya”, karena Indonesia yang sudah memberikan sejumlah remunerasi yang cukup menarik di berbagai instansi, namun masih saja terdapat oknum dari instansi tersebut yang terjerat korupsi.
Penyebab selanjutnya yang perlu kita perhatikan adalah hubungan antara bisnis, politik dan negara. Bila kita perhatikan di negara kita, semakin terbukanya kran demokrasi menyebabkan semakin deras pula arus para pebisnis yang terjun ke dunia politik, baik sebagai pengurus partai politik maupun anggota legislatif. Tentu berpolitik adalah hak azasi setiap orang, namun terjunnya pebisnis ke dunia politik membuka peluang timbulnya conflict of interest. Karena di satu sisi nature pebisnis adalah mencari peluang-peluang bisnis baru atau mengamankan bisnis yang ada, dan disisi lain negara memiliki kewenangan pengaturan bisnis dan membelanjakan dana publik melalui berbagai bentuk lelang pengadaan kepada dunia bisnis. Apabila pebisnis berkecimpung di dunia politik, maka perlu disiapkan mekanisme untuk meminimalisir potensi terjadinya benturan kepentingan.
Selanjutnya hal lain terkait strategi pembenahan bidang politik yang diperlukan adalah transparansi keuangan partai politik sebagai sebuah prioritas. Memang wacana ini bukan hal baru, namun pelaksanaannya perlu terus didorong terutama terkait pendapatan-pendapatan untuk kepentingan kampanye dan pemilu. Meskipun Indonesia telah mewajibkan dilakukan audit oleh Kantor Akuntan Publik atas keuangan partai politik dan oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk keuangan partai yang berasal dari APBN dan APBD, namun sampai saat ini keuangan partai politik masih menyisakan banyak misteri. Terutama karena laporan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang mengklaim betapa tingginya biaya politik di Indonesia.
Tentu kita bertanya-tanya, darimana para politisi atau partai politik mendanai semua biaya politik yang ekstra mahal itu. Merujuk pada pernyataan ketua MPR untuk mereviu sistem kita saat ini, barangkali strategi untuk menertibkan dan meningkatkan transparansi keuangan partai politik patut kita pikirkan lebih serius. Sayangnya menurut paper Huberts, justru hal ini yang acap kali diabaikan oleh para politisi. wallahualam bissawab.
(Hrn)