KATARSIS.ID – Dua dari enam isu Megatrends 2030 menurut George Vielmetter and Yvone Sell (2014) adalah berlangsungnya digital era; manusia selalu on dengan perangkat elektroniknya, serta terjadinya konvergensi teknologi antara nano, bio dan robotics.
Bisa dikatakan disrupsi sedang terjadi di semua sektor kehidupan, bersamaan dengan meningkatnya kritisisme dan harapan masyarakat dalam banyak isu pembangunan. Mengecilnya peran negara, membesarnya peran sektor swasta, berlangsungnya globalisasi pemerintahan di dunia karena dorongan kemajuan teknologi informasi.
Proses tersebut, paralel dengan permasalahan pembangunan yang semakin kompleks, menipisnya sumber daya, serta meningkatnya biaya-biaya pemerintahan.
Digital governance adalah perkembangan terbaru evolusi paradigma administrasi publik pasca reform movement (1970-an) dan peralihan dari government to governance (1990-an). Penerapannya di era otonomi beragam, dengan beberapa capaian yang menggembirakan di beberapa daerah.
Meskipun tertinggal dari sisi teori, pada praktiknya beberapa Kota/Kabupaten telah menerapkan kemajuan e-government yang bahkan telah menyentuh digital governance sebagai penentu keunggulan layanan serta memberikan terobosan kemudahan penyelesaian berbagai permasalahan.
Kota-kota besar seperti Semarang, Surabaya, Jakarta dan Bandung berlomba menerapkan Smart City dengan berbagai kemajuannya, yang sangat ditentukan oleh inisiatif Kepala Daerah, besarnya anggaran yang dimiliki, kesiapan SDM, skala dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, dan kemauan untuk belajar dari keunggulan berbagai kota di dunia. Berbagai penghargaan, baik oleh Kementerian, sektor swasta (media), dan lembaga internasional turut memacu perlombaan pencapaian kemajuan inisiatif digital governance ini.
Dari sisi perencanaan, implementasi dan evaluasi serta pengawasan pembangunan, beberapa Daerah sadar atau tidak telah menerapkan paradigma new public management atau bahkan new public service, karena masifnya penggunaan teknologi informasi melalui e-government.