Beberapa daerah yang telah menerapkannya bisa memantau perkembangan misalnya jumlah penduduk miskin, keberhasilan berbagai program yang telah ditancang, angka-angka indikator makro; IPM, gini ratio, angka inflasi harga-harga kebutuhan pokok, jumlah investasi yang masuk, jumlah usaha baru, ataupun angka putus sekolah.
Sistem yang terbangun bahkan sangat membantu penanganan permasalahan kompleks seperti pandemi Covid-19, misalnya untuk memantau data penderita baru, jumlah bansos yang telah disalurkan, data ketahanan pangan, informasi PSBB, ketersediaan sarana-prasarana dan tenaga medis, pemantauan harga kebutuhan pokok, yang jika telah terintegrasi menjadi sebuah big data akan menjadi pendukung pengambilan kebijakan yang sangat powerfull.
Kegagalan pengembangan digital governance biasanya lebih disebabkan ketidaksiapan SDM, budaya organisasi dan masyarakat yang kurang mendukung, keterbatasan anggaran untuk investasi awal, dan lemahnya infrastruktur TI yang ada.
Disamping masalah teknis administratif diatas, penyebab kegagalan terbesar adalah karena tidak adanya political will dari para penyelenggara pemerintahan di Daerah (dan Pusat), karena tersandera oleh perilaku korup dan praktik-praktik tidak etis yang menjauhkan dari perilaku inovatif dan kreatif. Meskipun diberikan aplikasi secara gratis, belum tentu daerah lain dapat mereplikasi daerah lain yang telah berhasil menerapkannya.
Belajar dari negara lain, Singapura pada era 2000-an telah mampu mengukur prosentase layanan publik dan swasta yang bisa dipenuhi/diakses dengan sepenuhnya digital, dan di periode yang hampir bersamaan Uni Eropa telah menerapkan berbagai layanan berorientasi publik (new public service) untuk mendukung terwujudnya public value.
Di Jepang yang mengalami ageing population pemerintah mereka berupaya memenuhi berbagai layanan publik yang memberikan berbagai kemudahan dan bisa diakses para manula dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, termasuk kecerdasan buatan dan penggunaan robotics.
Di negara-negara tersebut collaborative governance dan difusi inovasi, melalui inisiatif penggunaan TI antara sektor publik, masyarakat sipil, dan sektor swasta bisa dilakukan secara sinergis, terintegrasi dan holistik. Teori dan praktik bisa berjalan beriringan, dimana sektor swasta menciptakan faktor-faktor keunggulan melalui hasil-hasil riset mereka, masyarakat sipil diikutsertakan aspirasinya, dan sektor pemerintah turut mengarahkan pengembangan dan pengaplikasiannya.
Semoga kemajuan digital governance di beberapa daerah segera memperoleh momentum perluasannya dengan dukungan Pemerintah Pusat dalam hal grand design dan road map penerapannya di seluruh Nusantara. Tidak ada kata terlambat, karena bagi Daerah yang tidak mengikuti perkembangan ini taruhannya adalah terdisrupsi/mati.