Direksi baru Garuda telah dilantik. Dirut alias CEO nya adalah Irfan Setiaputra. Latar belakang karirnya adalah pernah menjadi CEO beberapa perusahaan. Tetapi sama sekali tidak memiliki latar belakang bekerja atau memimpin maskapai penerbangan. Bagaimana kira-kira kinerja Garuda dibawah kepemimpinannya? Ada harapan atau tidak? Pesimis atau optimis?
Menteri BUMN sebagai pemegang otoritas mewakili pemerintah sebagai pemegang saham pengendali tentu saja optimis. Tidak mungkin ia menunjuknya menjadi CEO kalau tidak optimis akan kemampuanya. Tentu optimis bahwa Irfan akan mampu memperbaiki kinerja maskapai penerbangan pelat merah ini. Layakkah optimisme ini? Â Mari kita cermati.
Menurut catatan SNF Consulting, kantor konsultan manajemen dimana saya bekerja, paling tidak ada dua masalah utama Garuda. Pertama adalah masalah pasar. Memang persepsi pasar Garuda di masyarakat sangat bagus. Jauh diatas pesaing utamanya sesama maskapai domestik si Lion Air. Tetapi keduanya memang tidak berada pada target segmen yang sama. Garuda di full service, lion di low cost carrier. Jadi wajar bila persepsi pasar nasional terhadap Garuda lebih baik dari pada Lion.
Mari bandingkan Garuda dengan sesama maskapai full service terdekat: Singapore Airlines. Annual report 2018/2019 maskapai negeri jiran ini mencatat seat load factor sebesar 83,1%. Sementara itu Garuda Indonesia pada annual report 2018 mencatatkan seat load factor sebesar 75,26%. Garuda kalah 7,84%.
Sebagai tambahan gambaran,  Delta Air, maskapai full service raksasa dari USA mencatatkan load factor 85,5%. Dengan gambaran ini, masalah marketing utama Garuda adalah bagaimana menaikan load factor menjadi paling tidak seperti Singapore Airlines. Lebih baik lagi jika menjadi seperti Delta Air.
Apa yang harus dilakukan untuk mencapainya? Ada tiga alternatif. Yang paling tinggi tingkat kepastiannya adalah menutup rute yang load factornya rendah. Tetapi jika ini dilakukan akibatnya adalah turunnya omzet Garuda. Oleh karena itu alternatif ini walaupun tingkat kepastiannya tinggi kemungkinannya kecil untuk dilakukan.
Alternatif kedua adalah berada kreatifitas program pemasaran dengan pesaing terdekatnya. Untuk ini dibutuhkan kemampuan tinggi di industrinya. Sayangnya, Irfan tidak ada apa-apanya dibanding misalnya saja dengan Goh Choon Phong, CEO Singapore Airlines. Goh sudah berkarir lebih dari 20 tahun di maskapai yang sering disebut dengan nickname SQ itu. Tujuh tahun terakhir sebagai CEO.
Dengan karir seperti itupun SQ masih kalah jauh dengan Delta air yang dikomandani oleh Eward H Bastian. Bastian telah berkarir di maskapai dengan armada lebih dari 900 pesawat itu selama 15 tahun. Menempati posisi CEO sudah 4 tahun. Goh dan Bastian keduanya adalah dedengkot.
Alternatif ketiga adalah membuka rute baru yang bisa menghasilkan load factor diatas 85%. Alternatif ini sangat sulit. Sebagai pemain baru di rute baru, Garuda harus bersaing dengan dedengkot-dedengkot rute itu. Tentu tidak mudah pemain baru langsung mengungguli para dedengkot.
Dengan alternatif tersebut, optimisme dalam aspek marketing terhadap Irfan sebagai CEO baru Garuda tidak berdasar pada pijakan yang kuat. Saya tidak seperti Menteri BUMN yang tentu saja optimis. Bagaimana hasilnya beberapa tahun kedepan? Bicara beberapa tahun kedepan saya makin tidak optimis karena dalam suasana politik seperti ini nyaris tidak mungkin CEO Garuda akan bertahan lama. Paling hanya sekitar 2 tahun. Tidak mungkin mengakumulasi keahlian seperti Goh atau Bastian. Ingat, CEO garuda tidak lepas dari fenomena pesuodo CEO.
Masalah kedua adalah bidang keuangan. Mari kita cermati. Omzet Garuda sampai triwulan ketiga 2019 adalah USD 2,796 miliar alias IDR 38,1 triliun. Dengan omzet sebesar itu Garuda membukukan laba sebesar USD 123 juta alias IDR 1,7 triliun. Ada biaya bunga sebesar USD 67 juta alias IDR 914 miliar di dalam beban perusahaan. Itu tidak lain adalah akibat besarnya utang Garuda.
Total utang Garuda adalah USD 3,505 miliar alias IDR 47,8 triliun. Sementara ekuitas (modal sendiri) hanya USD 911 juta alias IDR 12,4 triliun. Akumulasi rugi telah menggerogoti modal Garuda hingga triwulan ketiga sebesar USD 469 juta alias IDR 6,4 triliun. Utang garuda adalah sebesar 3,85 kali modal sendiri. Tinggi sekali.
Dalam kondisi keuangan seperti itu, solusi finansial yang memungkinan bagi Garuda adalah penerbitan saham baru untuk menambah ekuitas. Saya menyebutnya korporatisasi. Tetapi ini bisa dipastikan akan ditolak. DPR dan masyarakat akan keberatan jika pemerintah tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali.
Saat ini saham pemerintah 60,5%. Jika menerbitkan saham baru dan pemeritah tidak memiliki dana untuk membelinya maka pemerintah akan kehilangan posisi sebagai pesaham pengendali. Opsi ini hampir pasti akan ditolak walaupun sebenarnya secara finansial dilusi itu menguntungkan semua pihak. Artinya, terhadap masalah kedua ini direksi baru hampir dipastikan tidak punya cukup kekuatan untuk memperbaikinya.
Dua masalah itu membuat pesimisme terhadap CEO baru. Sekali lagi, tentu saja menteri BUMN optimis. Anda sebagai rakyat Indonesia yang merupakan pemegang saham tidak langsung Garuda, optimis atau pesimis?
Apapun jawabannya, tentu kita berharap dan berdoa agar Garuda membaik. Agar tidak menyusul kebangkrutan Merpati walaupun tanda-tanda kesana cukup kuat. Kita tetap berharap dan berdoa. Walaupun kita tahu bahwa ini adalah ibarat harapan dan doa sembuh bagi orang sakit kanker stadium 4. Semoga.