Ada perusahaan tumbuh pesat. Ada perusahaan normal atau bahkan stagnan. Secara finansial sebuah perusahaan bisa disebut tumbuh pesat jika menggelontorkan dana untuk investasi jauh lebih besar dari pada labanya. Atau tepatnya jauh lebih besar dari pada kas yang diperoleh dari operasi. Dan tentu saja dengan syarat investasi itu tepat menyasar revenue and profit driver. Investasi untuk membeli aset yang langsung menghasilkan pendapatan dan laba.
Lalu dari mana memperoleh uang kas yang lebih besar dari laba? Tentu saja dari luar perusahaan. Kemungkinannya hanya ada dua. Utang atau ekuitas. Perusahaan yang terus-menerus menambah utang tanpa membuka pintu ekuitas disebut raja utang.
Salah satu konsekuensi raja utang adalah melakukan revaluasi aset. Aset properti misalnya yang perolehannya rendah divaluasi ulang dengan menggunakan jasa apraisal agar diperoleh nilai pasar terbaru. Tentu saja nilainya meningkat. Sebagai gambaran, tanah di sekitar rumah saya yang tahun 1990-an harganya sekitar Rp 15 ribu per meter persegi kini lebih dari Rp 15 juta. Naik seribu kali lipat.
Revaluasi mengakibatkan perusahaan di atas kertas memiliki “agunan tambahan”. Dengan demikian akan ada ruang tambahan utuk utang. Kucuran utang pun datang. Karena sebenarnya peningkatan aset itu hanya di atas kertas, perusahaan akan menjadi lebih berat secara cash flow. Banyak BUMN mengalami hal ini. Simak tulisan saya tentang Krakatau Steel, Garuda, Semen Indonesia dan Inalum ini misalnya.
Secara lebih detail karakter perusahaan raja utang antara lain adalah: DER (debth to equity ratio) tinggi, akun tambahan modal disetor dalam neracanya kecil atau tidak ada, pemegang saham bersikap seperti politisi yang lebih mementingkan persentase saham dari pada nilainya, IPO dipandang sebagai tujuan akhir, sehingga setelah IPO tidak ada lagi penerbitan saham baru.
Tumbuh Tanpa Jadi Raja Utang dengan Korporatisasi
Untuk tumbuh pesat tanpa menjadi raja utang, sebuah perusahaan harus terus-menerus menerbitkan saham baru. Saya menyebutnya dengan proses korporatisasi. Dalam kondisi perusahaan yang berkinerja baik, investor yang menyetor saham baru harus membayar harga di atas nilai buku. Harus membayar intangible asset seperti para pemegang saham baru Sari Roti pada artikel saya yang lain.
Perusahaan pun memerima uang besar dengan cost of capital murah. Cost of capital rendah inilah yang memungkinkan perusahaan tumbuh pesat dengan melakukan akuisisi di dalam dan luar negeri. Menjadi perusahaan yang menguasai pasar berbagai bangsa. Jika ini dilakukan maka slogan “BUMN untuk negeri” menjadi tidak relevan. BUMN akan hadir di pasar berbagai bangsa. “BUMN untuk dunia”.
Dalam jangka panjang, perusahaan yang terus-menerus menerbitkan saham baru akan menjadi fully public company tanpa pemegang saham pengendali. Yang ada ada adalah pemegang saham dengan prosentase kecil-kecil. Perusahaan akan beroperasi berbasis sistem. Tidak ada “raja” yang bersifat like and dislike. Tidak ada pseudo CEO seperti yang banyak terjadi di BUMN selama ini.
Erick Thohir Jadi Menteri, Apakah BUMN Akan Berubah?
Erick Thohir baru saja dilantik menjadi menteri BUMN. Melihat rekam jejaknya di Mahaka Media, perusahaana yang dikendalikannya, dia bukanlah tipe raja utang. Sepanjang sejarahnya, PT Mahaka Media Tbk yang terlahir dengan Harian Republika itu telah melakukan 5 kali penawaran saham baru. Artinya, perusahaan ini terus menerus membuka masuknya dana dari investor baru melalui pintu ekuitas.
Erick Thohir yang pro korporatisasi kini memegang otoritas terhadap BUMN yang selama ini berkarakter raja utang. Pertanyaannya, siapa mempengaruhi siapa? Apakah Erick Thohir akan mempengaruhi BUMN? BUMN sembuh dari mental raja utangnya? Atau sebaliknya Erick takluk dan tidak berdaya sehingga membiarkan BUMN tetap menjadi raja utang? Mari kita cermati kemungkinannya.