Pertama, pada siapa kewenangan penerbitan saham baru? Apakah pada menteri BUMN yang secara teknis mewakili pemerintah sebagai pemegang saham pengendali BUMN? Atau pada DPR? Era menteri sebelumnya penerbitan saham membutuhkan persetujuan DPR.
Dalam kondisi seperti ini keputusan akan sangat dipengaruhi persepsi anggota dewan terhadap aksi korporasi berupa penerbitan saham baru. Dan berita buruknya sampai saat ini opini masyarakat masih memandang penerbitan saham baru BUMN sebagai sesuatu yang negatif. Seolah pemerintah telah menjual aset negara. Tentu politisi akan berat untuk melawan opini publik seperti ini. Jika ini yang terjadi maka besar kemungkinan Erick Thohir akan tidak berdaya dan kembali membiarkan BUMN berada pada kondisi raja utang.
Kedua, dalam kondisi seperti di atas Erick bisa saja ngotot. Berjuang keras menyelamatkan BUMN dari kondisi yang makin terpuruk. Dari cash flow yang sudah mencekik leher. Dan penerbitan saham baru secara terus-menerus akan menjadi alternatif satu-satunya.
Namun demikian, jika ini terjadi, mereka-mereka yang tidak setuju dengan langkah Erick akan mencari-cari celah kelemahan Erick. Kinerja PT Mahaka Media yang empat tahun terakhir ini rugi akan mudah “digoreng” menjadi senjata yang mematikan bagi langkah Erick.
Meraka tidak akan peduli lagi bahwa perusahaan yang dikendalikan Erick ini memang menghadapi disrupsi media cetak. Harian Republika dan Golf Digest yang merupakan tulang punggung Mahaka Media tidak berdaya melawan disrupsi sebagaimana yang juga dialami oleh media cetak lain. Golf Digest sudah berhenti terbit.
Ketiga, Erick adalah orang baru di bidang politik. Tentu ia butuh proses pembelajaran yang luar biasa menghadapi para politisi yang sudah malang melintang dengan pengalaman panjang. Apalagi politik itu berbalut birokrasi yang rigid dan penuh jebakan. Kasus Karen Agaustiawan di Pertamina bisa terjadi pada Erick. Ini akan makin menjadi hambatan luar biasa bagi Erick untuk bergerak. Tentu saja lebih aman bagi Erick untuk tidak melawan arus. Apalagi melawan arus mindset raja utang. Pasti akan sanagat berat.
Sebagai gambaran, keputusan seperti Akusisisi Freeport oleh Inalum atau Holcim Indonesia oleh Semen Indonesia dengan dana utangan itu secara matematik finansial tidak layak. Tetapi tetap harus jalan sebagai sebuah keputusan politik. Yang seperti ini Rini Sumarno sebagai menteri BUMN dengan latar belakang orang keuangan pasti sangat faham. Tetapi tetap harus dilakukan sebagai sebuah keputusan polittik. Berat.
Nah, dengan tiga alasan itu, tebakan saya, Erick lah yang justru akan mengikuti mindset raja utang ala BUMN. Erick justru harus ikut arus. Bukan BUMN yang “insyaf”. Ini kesimpulan logis yang saya sendiri berharap tidak terjadi.
Saya ingin BUMN yang insyaf dari mindset raja utangnya. Saya berharap semoga BUMN kuat seperti DHL-nya Jerman atau Embraer-nya Brazil. Bagaimana pendapat Anda?