Bagaimana kinerja Jiwasraya secara arus kas? Jiwasraya tidak menyajikan laporan “aliran darah” perusahaan ini dalam situs resminya. Dengan demikian kita tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi
Apa yang kini sedang meledak di Jiwasraya berupa gagal bayar hak nasabah adalah masalah arus kas. Laporan tahun 2017 tidak memberi informasi tentang hal ini. Tahun 2018 bahkan sama sekali belum menyampaikan laporan keuangan, termasuk aliran arus kas yang kini meledak. Apalagi tahun 2019.
Prudential telah menyampaikan semua laporan sesuai standar tata kelola perusahaan dengan baik hingga saat ini. Artinya, Board Of Director si kakak (BOD, di Indonesia terdiri dari direksi dan komisaris karena menggunakan prinsip tata kelola perusahaan dua kamar) telah menjalankan tugas admistratifnya dengan baik.
Mengapa Jiwasraya gagal bayar? Kita tidak bisa menjawabnya dari informasi yang terkonfirmasi oleh perusahaan. Kita hanya bisa mendapatkan potongan informasi dari berbagai media dari pihak di luar Jiwasraya. Informasinya kurang lebih adalah bahwa Jiwasraya telah mengalami kegagalan investasi. Dana “menguap” karena salah penempatan investasi. Artinya, jika berkaca pada angka tahun 2017, yang menjadi pokok masalah Jiwasraya adalah 97% total aset yang berupa aset investasi.
Prinsip investasi adalah sebagaimana prinsip sebuah investment company yaitu aman-aman-aman-hasil. Caranya adalah dengan menyebar aset dengan prinsip “jangan taruh telor pada satu keranjang”. Jika kemudian Jiwasraya gagal maka bisa dinilai bahwa si adik ini gagal dalam hal “jangan taruh telor pada satu keranjang”
Salah satu yang dilakukan si kakak dalam hal “jangan taruh telor pada satu keranjang” adalah menyebarkan investasi pada banyak negara. Prudential memiliki kantor di 18 negara dengan nasabah di 40 negara. Dengan dana invesasi Rp9.181 tentu dengan mudah si kakak bisa menyebar investasinya di berbagai negera. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh si adik yang aset investasinya hanya Rp45 triliun.
Karena Jiwasraya juga hanya beroperasi di Indonesia maka tentu saja aset investasi si adik sebagian besar atau hampir semua “telor”-nya akan ditaruh pada satu “keranjang” yaitu Indonesia. Ketika IHSG jeblok seperti saat ini, tentu wajar jika Jiwasraya kehilangan hampir seluruh “telor”-nya. Dana ketika Jiwasraya harus membayar kewajibannya kepada nasabah, aset-aset itu tidak mencukupi . Itulah gambaran gagal bayar Jiwasraya
Bagaimana si kakak yang berselisih umur hanya 11 tahun menjadi raksasa sedangkan di adik tetap kerdil dan bernasib seperti telur di ujung tanduk? Ini bisa terjawab dari daftar pemegang saham prudential.
CNN menyebut bahwa Lazard Asset Management LLC adalah pemegang saham terbesar yaitu sebesar 0,37%. Pemegang saham terbesar kedua adalah Managed Account Advisor LLC dengan 0,23%. Pemegang saham lain prosentasenya lebih kecil. Total nilai saham yang beredar sebagaimana saya sebut di atas adalah Rp680 triliun. Artinya, kepemilikan Lazard bernilai Rp 2,5 triliun.
Kondisi seperti ini terjadi karena Prudential sejak didirikan terus menerus menerbitkan saham baru. Tujuannya adalah untuk memperoleh modal murah dengan menguangkan intangible assetnya. Baca tulisan saya tentang ini di link ini. Cara seperti itu merupakan langkah teknis dari proses korporatisasi. Hasilnya adalah perusahaan fully public company yang berjalan murni berdasarkan sistem manajemen dan tata kelola yang bagus. Silakan baca tentang detailnya di link ini.
Si adik tetap kerdil karena hingga saat ini tidak pernah menguangkan intangible assetnya. Pemerintah tetap memegang 100% saham Jiwasraya. Jiwasraya tidak melakukan korporatisasi.
Efek lain dari tidak pernah menerbitkan saham diluar saham pendiri (pemerintah) adalah bahwa pemegang saham satu-satunya dalam hal ini pemerintah bisa memutuskan apapun tanpa ada pihak yang bisa menghalangi. Pemerintah adalah ibarat seorang raja dalam sebuah sistem pemerintahan monarki. Sistem manajemen pun tidak terbentuk.
Apa solusinya? Saya belum bisa menulis detail karena laporan keuangan terbarunya belum terbit. Terbitpun tidak ada laporan arus kas. Tidak ada catatan laporan keuangan sebagaimana layaknya laporan keuangan teraudit. Jadi bagaimana? Auk ah gelap
Tapi kalau mau serius, sebagai warga negara yang sehari-hari bekerja dari ruang meeting direksi satu perushaaan ke ruang meeting direksi perusahaan lain di SNF Consulting saya bersedia memberi masukan untuk Jiwasraya. Tetapi tentu saja butuh data yang cukup.
Jiwasraya memang seperti telur di ujung tanduk. tetapi saya yakin tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Kecuali kita telah menyerah dan menganggapnya sebagai takdir yang memang sudah harus diterima. Membiarkan perusahaan yang telah berusia 160 tahun itu pailit dengan meggondol puluhan triliun uang nasabah. Bagaimana?