KATARSIS.ID – Di Indonesia, konsep desentralisasi diterjemahkan sebagai pelimpahan kewenangan kepada pemerintahan Kabupaten/Kota untuk melakukan pembelanjaan, memungut pajak, pemilihan Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan oleh rakyat secara langsung, serta menerima transfer keuangan dari Pemerintah Pusat. Alasan penerapannya, karena Pemda dianggap lebih memahami kebutuhan masyarakat di daerahnya yang memungkinkannya mengambil keputusan tanpa harus menunggu persetujuan Pemerintah Pusat.
Tujuan desentralisasi adalah untuk meningkatkan responsifitas, kecepatan dan efisiensi, keberlanjutan pelayanan kepada masyarakat serta untuk lebih mendorong pembangunan. Menurut Rondinelli (2002), pada prinsipnya desentralisasi bisa dilaksanakan dalam bidang politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), fiskal (fiskal decentralization), dan ekonomi (economic or market decentralization).
Kebijakan otonomi daerah di Indonesia terwujud melalui UU No. 9/2015 (Perubahan Kedua atas UU No. 23/2014) tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No. 22/1999. Otonomi daerah dilengkapi dengan UU No. 33/2004 (perubahan dari UU No. 25/1999) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah didukung dengan desentralisasi fiskal, yaitu pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan fungsi (pelayanan) publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pembelanjaan dan penerimaan (Smoke, 2007 dalam Sampurna, 2019).
Aminuddin (2017) mendefinisikan desentralisasi fiskal sebagai kewenangan (authority) dan tanggung jawab (responsibility) dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan APBD oleh Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, desentralisasi fiskal mememindahkan kekuasaan untuk mengumpulkan dan mengelola sumber daya finansial dan fiskal kepada Daerah, yang didukung oleh UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Kemandirian fiskal daerah merupakan indikator utama untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah membiayai sendiri kegiatannya. Sebagai unsur terpenting kemandirian fiskal daerah, Pemda perlu mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk meningkatkan kemampuan fiskal daerah. Asumsinya PAD memiliki dua unsur penting, yaitu merupakan potensi asli daerah dan bisa dikelola sepenuhnya oleh daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 285 ayat (1) menyatakan bahwa PAD meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selain PAD, sumber pendanaan APBD bersumber dari Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Daerah.
Setelah berjalan lebih dari dua dekade, muncul pertanyaan mengenai bagaimana evaluasi pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Reviu kemandirian fiskal daerah yang dilakukan BPK sebagai bagian dari kecukupan pengungkapan informasi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 diharapkan bisa sedikit menjawab pertanyaan ini. Reviu atas kemandirian fiskal daerah merupakan bentuk evaluasi BPK atas transparansi dan akuntabilitas Pemerintah Daerah dalam melakukan pengelolaan keuangannya.
BPK melakukan reviu kemandirian fiskal daerah Tahun Anggaran (TA) 2018 dan 2019 menggunakan metode Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) yang dikembangkan oleh Hunter (1977), dan pengelompokan hasilnya menggunakan klasifikasi yang disusun oleh Sampurna (2019). Nilai IKF dikelompokan menjadi “Belum Mandiri”, “Menuju Kemandirian”, ”Mandiri”, dan “Sangat Mandiri”, empat skala dengan masing-masing bernilai 25 persen berkisar antara 0 (semua belanja dibiayai dengan dana transfer) hingga 1 (semua belanja dapat dibiayai dengan PAD).