Hasil perhitungan IKF menunjukkan sebagian besar Pemda belum mandiri serta adanya kesenjangan antar daerah yang sangat tinggi. Sebagian besar Kabupaten/Kota TA 2018 yang memiliki nilai IKF kurang dan sangat kurang berjumlah 455 Kabupaten/Kota atau 89,57 persen. Angka IKF TA 2019 memperlihatkan perbedaan indeks yang sangat mencolok antara Provinsi DKI Jakarta dengan nilai sebesar 0,7107 dengan Provinsi Papua Barat dengan nilai 0,0427.
Kesenjangan kemandirian fiskal juga terjadi pada level Kabupaten/Kota, dimana diketahui Kabupaten Badung di Bali dapat membiayai 83,47 persen dari belanja daerah dari PAD, sementara Kabupaten Deiyai di Papua hanya dapat membiayai 0,31 persen dari belanja daerah dari PAD. Reviu BPK menunjukkan angka rata-rata IKF provinsi TA 2019 adalah 0,36 dan rata-rata IKF Kabupaten/Kota adalah 0,11. Hasil Reviu BPK juga menunjukkan adanya kesensenjangan Kemandirian Fiskal yang tinggi antara wilayah Jawa dengan Luar Jawa.
Sedikit perbaikan terjadi, dimana Pemerintah Provinsi yang Belum Mandiri secara fiskal sebanyak 10 dari 34 Provinsi pada TA 2018 dan turun menjadi 8 dari 34 Provinsi pada TA 2019. Sementara Kabupaten/Kota yang Belum Mandiri sebanyak 471 dari 508 Kabupaten/Kota pada TA 2018 dan turun menjadi 458 dari 497 Kabupaten/Kota pada TA 2019 (beberapa Pemda belum menyerahkan LKPD kepada BPK). Sedangkan daerah yang masuk kategori Menuju Kemandirian pada TA 2018 sebanyak 16 Provinsi dan meningkat menjadi 18 Provinsi pada TA 2019. Sementara Kabupaten/Kota yang masuk klasifikasi Menuju Kemandirian pada TA 2018 sebanyak 34 dan meningkat menjadi 36 pada TA 2019.
Hasil reviu BPK menunjukkan jumlah daerah yang telah Mandiri sama pada TA 2018 dan 2019, yaitu 8 Provinsi dan 2 Kota. Pada periode yang sama, dari 508 Kab/Kota dan 34 Provinsi hanya terdapat satu daerah dengan klasifikasi Sangat Mandiri, yaitu Kabupaten Badung dan tidak terdapat satupun pada level Pemerintah Provinsi.
Hasil reviu BPK mengonvirmasi hasil penelitian LPEM UI yang menyimpulkan bahwa peran PAD dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB) terhadap APBD relatif rendah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada Tahun 2016 rata-rata kontribusi PAD terhadap pendapatan Kabupaten/Kota hanya sekitar 13,05 persen, sementara kontribusi PDRD hanya berkisar 7,16 persen. Proporsi ini hampir tidak berubah selama tiga tahun sejak 2014, dimana pada Tahun 2009 angkanya hanya berkisar 7,50 persen (PAD) dan 4,59 persen (PDRD).
Sedangkan terkait penyebab rendahnya kemandirian fiskal daerah, penelitian Firdausy (2017) menyimpulkan antara lain karena; 1). Pemerintah daerah belum mampu mengindetifikasi potensi sumber pendapatannya, 2). Daerah belum dapat mengoptimalkan penerimaan pajak daerah, retribusi daerah atau bahkan penerimaan dari hasil kekayaan daerah yang dipisahkan, 3). Daerah masih menganggap bahwa rendahnya PAD sebagai akibat dari ruang gerak yang terbatas sebagaimana diatur dalam UU No 28 Tahun 2009, 4). Daerah melihat banyak jenis dan objek pajak serta retribusi yang masih dapat diterapkan, tetapi tidak diperbolehkan oleh undang-undang, 5). Daerah masih melihat bahwa potensi pendapatan pajak yang besar masih diatur oleh Pusat yaitu pajak penghasilan, PPN dan pajak rokok, 6). Kesiapan SDM baik dalam kuantitas maupun kualitas, 7). Lemahnya pengawasan atas pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, dan 8). Kontribusi BUMD masih rendah.
Dari potret mutakhir rendahnya kemandirian fiskal daerah, diperlukan terobosan kebijakan Pemerintah Pusat dan kreatifitas Daerah untuk meningkatkan PAD-nya tanpa merusak iklim usaha di daerahnya. Tanpa upaya luar biasa segenap stakeholders untuk mewujudkan kemandirian fiskal daerah, masih sangat panjang upaya mewujudkan tegaknya otonomi daerah, yaitu kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di daerah demi memenuhi kepentingan masyarakat setempat melalui prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Nico Andrianto, Alumnus Program Master of Policy and Governance, Crawford School of Public Policy, The Australian National University, Australia.