Tanggal 3 Desember lalu tersiar berita bahwa Wijaya Karya alias WIKA, BUMN konstruksi, akan menerbitkan global bond senilai sekitar Rp 5-6 triliun. Dana utangan tersebut akan digunakan untuk melunasi utang sebelumnya yaitu obligasi global juga yang akan jatuh tempo pada Januari 2021.
Menerbitakan obligasi global bisa dianggap keren oleh sebagian orang. Dipercaya oleh para pemodal di London. Berarti perusahaan BUMN itu bonafid. Benarkah? Mari kita cermati rapotnya. Birukah? Merahkah? Tentu saja dari laporan triwulan ketiga perusahaan konstruksi itu.
Sampai triwulan ketiga 2019, Wika membukukan pendapatan Rp 18 triliun. Angka ini turun 13% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 21 triliun. Penurunan pendapatan ini juga berakibat penurunan laba kotor dari Rp 2,4 triliun menjadi Rp 2,3 triliun. Laba usaha turun dari Rp 1,7 menajadi Rp 1,6 triliun. Semua menunjukkan penurunan. Tetapi laba bersih naik dari Rp 1 triliun mnjadi Rp 1,6 triliun. Faktornya adalah karena pendapatan lain-lain Rp 39 miliar dari tahun sebelumnya minus Rp 579 miliar.
Bagaimana dari posisi keuangannya? Aset Wika per 31 September adalah Rp 63 triliun alias naik 7% dari posisi periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 59 triliun. Aset sebesar itu diperoleh dari ekuitas (modal sendiri) sebesar Rp 18 triliun. Sisanya sebesar Rp 44 triliun berasal dari utang. Rasio utang terhadap ekuitas adalah 2,44. Utangnya 2,44 kali lebih besar dibanding modal sendiri.
Sehat atau tidak? Mari kita amati lebih dalam. Kita cermati laporan arus kas untuk 9 bulan yang berakhir 31 September tahun ini. Dari kaca mata laba rugi memang perusahaan ini membukukan laba bersih seperti tersebut di atas. Namun demikian laba itu tidak berupa uang kas. Laporan kas operasionalnya justru minus sebesar Rp 3,8 triliun.
Pendapatan yang di laporan laba rugi dibukukan sebesar Rp 18,2 triliun hanya diterima berupa kas Rp 15,3 triliun. Dikurangi dengan pembayaran kepada pemasok, gaji direksi dan karyawan, bunga dan pajak akhirnya kas opersional Wika minus Rp 3,8 triliun itu. Kondisinya lebih buruk dibading tahun lalu yang juga minus Rp 3,7 triliun.
Sementara itu, di sisi lain Wika juga harus menggelontorkan kas untuk investasi sebesar Rp 5,6 triliun. Total minus Rp 4,3 triliun. Minus sebesar itu ditambal dengan menambah utang. Tahun lalu bahkan kondisinya lebih parah karena harus menambal minusnya arus kas operasional plus investasi dengan menambah utang sebesar Rp 5,5 triliun.
Mencermati lebih dalam lagi tentang utang ini, kita akan lebih mendapatkan gambaran betapa pusingnya manajemen Wika. Dalam sembilan bulan harus membayar utang bank jangka pendek senilai Rp 15,2 trilyun. Untuk membayarnya Wika harus berutang jangka pendek lagi senilai Rp 16,9 triliun.
Utang jangka pendeknya kepada banyak sekali bank. Sekedar menyebut beberapa diantaranya: Bank Mandiri Rp 276 miliar, BNI Rp 243 miliar, BRI 201 miliar, Bank Exim 185 miliar, SMF 24 miliar, BTPN 4,5 triliun, Bank DKI Rp 600 miliar, Bank of Tokyo Rp 500 miliar, Maybank Rp 500 miliar, Shinhan Bank Rp 200 miliar, Bank DBS Rp 200 miliar…. dan masih banyak lagi. Jari saya lelah untuk menuliskan semuanya. hehehehe
Untuk utang jangka menengah tidak kalah seru. Wika berutang berupa Global Bond dalam satuan Rupiah. Nilainya adalah Rp 5,4 triliun. Utang akan jatuh tempo pada bulan Januari tahun 2021 dengan tingkat bunga 7,7%. Utang ini dicatatkan di London Stock Exchange. Masih ada lagi 3 obligasi jangka menengah (MTN, mid term note) yang akan jatuh tempo sampai tahun 2021 total sebesar Rp 955 miliar.
Untuk menyelesaikan utang jatuh tempo itulah Wika harus berutang lagi yang rencananya akan dilakukan melalui penerbitan obligasi global di London juga dengan nilai Rp 5-6 triliun seperti pada berta yang saya sebut di awal.
Ada yang memandang bahwa menerbitkan obligasi global di London Stock Exchange adalah bukti kredibilas perusahaan. Tetapi dalam bahasa sederhana langkah itu tidak lebih dari apa yang oleh orang awam disebut gali lobang tutup lobang. Menyelesaikan utang dengan utang lagi yang lebih besar.
Untuk utang bank saya sampai tidak sanggup menuliskannya satu-satu. Itu semua akan jatuh tempo dalam satu tahun dan harus ditambal dengan utang berikutnya. Untuk obligasi juga begitu. Bahkan obligasi adalah gong-nya. Itulah betapa ruwetnya manajemen Wika akibat utang yang berlebih. Tiada hari tanpa memikirkan jatuh tempo utang. Tiada hari tanpa gali lobang tutup lobang. Itulah BUMN negara sampean. Negara saya juga hehehehe.
Apakah tidak ada solusi? Jika mau, solusinya adalah dengan menerbitkan saham baru. Mungkinkah? Mari kita lihat kemungkinannya. Nilai seluruh saham Wika hari ini adalah Rp 16,9 triliun. Pemerintah masih pegang 65,5%. Misalkan Wika menerbitkan saham baru sebesar 40% maka akan diperoleh dana sekitar Rp 6,76 triliun. Masih jauh dari total utang Rp 44 triliun.
Andai saja Wika diperbolehkan menerbitkan saham sebesar itu untuk membayar utang, sisa utangnya juga masih selangit. Sisa utang masih Rp 37,24 triliun. Rasio utang terhadap modal sendiri (DER) masih 1,50. Masih berat juga.
Penerbitan saham sebesar itu artinya pemerintah bukan lagi menjadi pesaham pengendali. Saham pemerintah terdilusi hingga hanya tersisa 42%. Pasti masyarakat akan ribut. Pemerintah akan dicap menjual aset negara.
Walaupun sebenarnya yang dijual itu adalah saham baru alias “tanda tangan notaris”. Saham pemerintah tetap sejumlah 5,87 miliar lembar. Tidak ada selembar pun aset negara yang dijual. Tetapi banyak orang tidak faham hal ini. Artinya, penerbitan saham itu juga amat sulit untuk dilakukan. Jadi itulah kondisi Wika. Masalah besar yang nyaris tanpa solusi. Tiada hari tanpa memikirkan uang jatuh tempo. Tiada hari tanpa gali lobang tutup lobang. Itulah BUMN negara sampean. Negara saya juga hehehehe.