KATARSIS.ID – Di negara yang maju pendidikannya, orang tua concern saat anak duduk di jenjang pendidikannya. Semua hal, resources, dicurahkan diproses pendidikan ini.
Sebaliknya, di negara seperti Indonesia, orang tua justru lebih concern pada saat akhir jenjang pendidikan anaknya, atau saat beralih jenjang ke pendidikan yang lebih tinggi. Seperti Penerimaan Peserta Dididk Baru (PPDB) yang sedang berlangsung saat ini.
Sangat jarang orang tua concern pada bagaimana proses pendidikan saat di jenjang pendidikan. Bagaimana proses belajar mengajarnya, kualitas pengajaran termasuk gurunya, kurikulumnya, sarana-prasarana sekolah, ketersediaan buku, dan sejenisnya. Orang tua menyerahkan sepenuhnya pada sekolah. Nanti diakhir jenjang pendidikan anaknya, jelang UN/UNBK baru concern lagi, yang dilanjutkan dengan PPDB.
Wajar masyarakat bersikap demikian. Pasalnya, penentu kebijakan di bidang pendidikan, pemerintah, sejak dulu memang lebih concern dan MENYIBUKAN diri diurusan bagaimana MASUK sekolah (PPDB) dan bagaimana KELUAR sekolah (UN/UNBK).
Sementara, proses pendidikannya minim perhatian. Hal ini, dapat kita lihat, misal, pada peningkatan kapasitas pengajaran, Guru, peningkatan jumlah dan kualitas sekolah, pengayaan materi pendidikan, sarana-prasana yang minimalis, buku yang rendah jumlah dan kualitasnya, dan lain sebagainya. Yang dampaknya justru di kualitas pendidikan itu sendiri.
Lihatlah kota Surabaya sebagai contoh. Sudah berbilang tahun, jumlah SMA Negeri tidak pernah bertambah. Wilayah Kecamatan Mulyorejo yang demikian tumbuh pesat pemukiman dan kawasan bisnisnya, tidak ada satu pun SMA Negeri. Sementara, Kecamatan Sukolilo yang berdiri berbagai Perguruan Tinggi, kawasan permukiman baru, apartemen, yang kepadatan penduduknya tinggi, hanya terdapat satu SMA Negeri, yakni SMAN 20.
Jadi, wajarlah jika orang tua saat ini cemas, deg-degan dengan kelanjutan pendidikan anaknya. Cemas apakah akan diterima di sekolah negeri lewat PPDB atau tidak.
Apalagi, saat ini, PPDB menggunakan sistem yang berbasis zonasi tempat tinggal. Dimana, anak ditentukan diterima di suatu sekolah berdasarkan jarak tempat tinggal ke sekolah. Makin cemas lah orang tua. Plus rasa bersalah, kenapa dulu tidak membeli atau menyewa rumah yang menempel dengan dinding sekolah, sehingga anaknya dijamin bisa diterima di sekolah negeri.
Dugaan saya, saat ini, banyak para Ibu yang tidak nyenyak tidur, tidak enak makan dan makin banyak berdoa dibanding hari-hari biasanya.
Semoga kedepan, ada perubahan di dunia pendidikan kita, yang tidak lagi mencemaskan soal MASUK dan KELUAR, tapi lebih cemas saat proses pendidikan itu berlangsung.
Pada para orang tua, khususnya para Ibu, yang sabar. Tidak dapat di negeri, toch ada sekolah swasta yang juga tak kalah baik kualitasnya.
Biayanya mahal? Jangan khawatir, untuk SLTA di Jatim, ada Ibu Gubernur Khofifah yang telah menjamin ada bantuan dana pendidikan bagi siswa dari keluarga tidak mampu yang diterima di swasta. Itu yang saya tahu tahun lalu, tahun ini rasanya sama. Kalau tidak sama, ya diminta Ibu Gubernur untuk memperhatikan dan kembali menganggarkan. Apalagi ini era ekonomi sulit, era Covid-19.
Untuk anak-anak ku, khususnya di Surabaya. Semoga kalian diterima di sekolah yang kalian idamkan. Dimana pun kalian diterima, yang penting saat proses pendidikannya, rajin dan uletlah belajar, itu yang lebih menentukan masa depan mu dibanding dimana sekolah mu.
Yang penting lagi, anak ku, JANGAN MAU diterima di suatu sekolah karena fasilitas orang tua, entah karena bapak/ibu kamu pejabat, atau memiliki kuasa uang. Hal seperti itu hanya akan mencemari diri mu, rekam jejak mu, dan pasti itu perbuatan yang tidak baik, karena kamu telah menyingkirkan anak lain yang lebih berhak, hanya karena orang tua mu pejabat atau punya banyak uang.
Anak-anak ku, Jujurlah sedari awal, kalau orang tua tidak bisa jujur, ajari jujur.
Selamat Berjuang.
*Ferry Koto
Dewan Pendidikan Surabaya 2014-2019
Inisiator Forum Pendidikan Jawa Timur