Ilusi Negara Agraris
Jika menghitung luas lahan, alokasi daratan untuk pertanian hanya berkisar 31,5% dari 195 juta hektare wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata kepemilikan lahan petani hanya 0,3 hektare per kepala keluarga. Berbeda dengan Inggris yang berani mengalokasikan 75% lahannya untuk pertanian dari 22 juta hektare luas daratan.
Sementara Cina 54,8%, Australia 52,9%, Amerika 50%, dan Thailand 43,4%. Jika lahan pertanian nilainya masih lebih kecil dari kebutuhan per kapita, maka secara otomatis masyarakat akan beralih ke sektor lain yang lebih menjanjikan.
Tenaga kerja sektor pertanian jumlahnya mencapai sekira 35 juta orang pada Februari tahun 2020. Jumlah ini merupakan 20,7% dari jumlah tenaga kerja di Indonesia. Jika dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2019 sebesar 35,42 juta orang, maka angka tersebut mengalami penurunan sebesar 1,17%. Sektor pertanian sempit pada tahun 2020 hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional pada triwulan 1 sebesar 9,40%. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih sangat rendah.
Penurunan minat menjadi petani karena sektor pertanian dianggap kuno dan kurang menguntungkan dari segi ekonomi. Kebanyakan lulusan pertanian malah bekerja di sektor lain, sedangkan sektor pertanian banyak dikerjakan oleh orang tua dan berpendidikan rendah. Dampaknya adalah kurang efisiennya produksi pertanian dan kurangnya kemampuan mengaplikasikan peran teknologi.
Peran pemerintah soal subsidi pupuk dan penyediaan irigrasi air hanya mengatasi permasalahan personal petani. Sedangkan potensi swasembada dan ketahanan pangan nasioal masih sulit dicapai. Kesejahteraan petani juga jauh dari harapan selama persepsi bekerja di sektor pertanian dirasa kurang menguntungkan.
Pemerintah dan instansi lain harus berkolaborasi untuk turun memberikan pelatihan di sektor pertanian. Jika petani masih menggunakan metode kuno dalam mengolah sawah, serta mengandalkan tengkulak dalam memasarkan hasil panen, maka menjadi negara agraris hanyalah ilusi belaka.