WARGASERUJI – J, relawan sebelah, memposting suasana tidak gembira di kelompok mereka. Saya membalas postingan J.
“Bagaimana suasana di sana J, apa happy merasa menang?” tanyaku. ” Enggak bang, semua wajah pada suram,” jawabnya.
“Ok, thx for info,” tambahku. Namun dia posting lagi, “Besok kalau keluar jangan bawa mobil bang, naik grab aja,” tambahnya.
“Thx nasehatnya, tapi besok aku mau Jumatan di Istiqlal, tempat Prabowo Sholat besok,” kataku lagi.
“Naik grab aja pak Dubes, kan pak Dubes sudah, ditandai,” tegasnya lagi. (Entah kenapa dia berpikir saya akan jadi Dubes ke depan?).
“Trims anyway ya J,” tutupku.
Situasi ke depan memang serba tidak pasti. #02 sudah mengklaim kemenangan 63%. #01 sudah mengklaim kemenangan sesuai QC. Dalam ketidak pastian ini rakyat gelisah, apa yang akan terjadi?
SBY, misalnya sudah memerintahkan jajarannya untuk menarik diri dari klaim kemenangan #02, di mana seharusnya dia berada.
Panglima TNI dan Kapolri sudah mengeluarkan ancaman melakukan penindakan apabila ada gerakan-gerakan inkonstitusional paska pesta demokrasi ini.
Hak Politik Rakyat Vs Inkonstitusional
Saya tidak pernah mendengar pernyataan Kepala Staf Gabungan Tentara Amerika selama masa pemilu Amerika 2016 lalu. Bahkan, ketika gerakan-gerakan #NotMyPresident dimobilisasi partai demokrat sepanjang tahun paska pilpres, mereka menolak Trump.
Bahkan, James Comey, direktur FBI (ya setingkat Kapolri lah kira-kira) bersaksi memberatkan Presiden Trump soal skandal kecurangan pilpres (intervensi Rusia), di komite Senat yang memeriksa kasus itu.
Comey dipecat Trump, tapi Comey disumpah negara, jadi Comey lebih patuh pada rakyat Amerika ketimbang presiden.
Hak politik rakyat yang saya bicarakan di atas, tentu di negara demokrasi yang benar-benar mau demokrasi. Kalau di negara kita tentu hal itu belum teruji.
Di sini istilah inskonstitusional seolah-olah barisan Prabowo tidak berhak menuntut pemilu yang adil alias terima aja pemilu apa adanya. Padahal, pemilu yang adil adalah hak rakyat. Dan keadilan itu akan dibuktikan sampai proses penetapan hasil pemilu selesai di KPU maupun di MK.
Lalu bagaimana hak politik rakyat dalam teori sosial? Hak politik rakyat tentu dapat dituangkan dalam cara-cara pengadilan, protes, unjuk rasa dan terakhir mobilisasi massa menentang. Ini standard ilmu dalam sociology politics yang saya ajarkan pada mahasiswa sebuah universitas ketika dulu saya mengajar.
Jadi, jika tentara di negara demokrasi Amerika menjalankan prinsip-prinsip demokrasi sesuai ilmu, maka tentaranya tidak ada yang membicarakan istilah inkonstitusi dalam demokrasi. Istilah inkontitusional umumnya kosa kata jaman orde otoritarian, seperti jaman orde baru, di mana saya ditangkap Kodam Siliwangi dulu.
Arah Demokrasi Kita?
Pemilu adalah syarat demokrasi. Pemilu bersih dan jujur adalah pegangan utama demokrasi. Lalu apakah kita bisa dan mau mempertahankan demokrasi ini?
Dalam serangkaian peristiwa yang dilihat rakyat banyak, berbagai potensi kecurangan telah dan sedang terjadi. Money politics, pork barrel politics, dan pencoblosan kertas suara di Malaysia adalah sebagain kecil contohnya.
Saya sebutkan sebagai potensi karena membutuhkan pembuktian yang serius. Dalam kasus ‘Malaysia’, kita melihat harusnya gampang membandingkan surat suara tercoblos #01 asli atau tidak. Polisi Diraja Malaysia tinggal diberi contoh kertas suara sah, untuk mencocokkan. Namun, sayangnya ketua KPU hanya menganggap sampah.
Tanpa upaya serius dalam menangani isu-isu di atas, maka kecurigaan atas kecurangan tentunya tetap menghiasi rakyat, khususnya pendukung #02. Alhasil, demokrasi di mata rakyat, khususnya pendukung #02 sudah teraniaya.
Jika demokrasi teraniaya maka wajar saja protes sosial akan berkembang ke depan. Namun, protes sosial itu jika dimaknai baik, berarti kita melihat sebagai potensi bagi perbaikan arah demokrasi. Namun, jika protes sosial dimaknai sebagai gejala inkonstutusional, maka arah demokrasi yang teraniaya bisa akhirnya mati.
Kematian
Dalam demokrasi yang mati, maka penjara dan kematian bukanlah barang langka. Di negara-negara demokrasi, tidak ada orang-orang politik masuk penjara, apalagi mati (di) terbunuh. Namun, jika demokrasi mati, maka penjara dan kematian akan menghampiri pejuang-pejuang kerakyatan.
Mr. J yang mengingatkan saya soal lebih baik naik Grab, mungkin melihat ada gejala framing massa #02 akan inkonstitusional. Saya tentu waspada akan hal ini. Namun, kewaspadaan saya tidak mungkin mengurangi semangat saya untuk Sholat Jumat nanti dengan (barisan) Prabowo. Karena sesungguhnya saya memikirkan dua hal: 1) Prabowo dan massanya tetap berada di jalan konstitusi. 2) Kematian sosok politik Che Guevara, Sayyid Qutub, Tan Malaka, Kartosuwiryo, dan pengasingan Khomeini, penjara Nelson Mandela, Sukarno Hatta, itu memang jalan kehidupan kaum perjuangan, yang tidak perlu ada tangis di sana.
Yang penting kematian jangan dicari, namun jika datang dan sudah takdirNya, ya harus dihadapi.
Salam
(Tulisan pascapencoblosan Pemilu 2019, 17 April 2019)