WARGASERUJI – Beberapa poster yang dibawa pendemo di Papua Barat dan Papua pada hari ini bertuliskan, “Kalau Kami Monyet, Kenapa Suruh Kami Naikkan Bendera”. Menurut mereka pernyataan rasis yang ditujukan aparat atau kelompok sipil pendemo pada mahasiswa Papua di Surabaya adalah salah satu penggerak semangat rakyat Papua marah pada hari ini.
Saya sudah menulis beberapa waktu lalu dengan judul “Masa Depan orang-orang Hitam di Indonesia”, untuk memberi solidaritas pada saudara saya Natalius Pigai yang disamakan dengan Gorilla oleh seseorang aktifis eks Mahasiswa Yogya. Tulisan saya menyoroti bahwa rasis adalah perbuatan yang paling terkutuk di dunia ini.
Matthew Clair, Harvard University, dan Jeffrey S Denis, McMaster University, Hamilton, ON, Canada dalam “Sociology of Racism”, 2015, menerangkan perkembangan racisme dari model lama yang bersifat langsung menuju model baru yang lebih terselubung (colorblind), “laissez-faire“, simbolik dan institusonal.
Model lama perilaku rasis umumnya diperlihatkan dengan sikap langsung (attitude) terhadap seseorang karena perbedaan warna kulit, ras, etnik maupun agama. Dalam model rasisme baru, mempertahankan dominasi rasialis dilakukan dengan simbol, frame, skrip atau narasi, bahkan diatur secara institusi seperti dalam “labor market”.
Clair dan Dennis juga memperlihat penelitian dari sisi korban rasisme. Menurut temuan, korban rasisme dalam banyak hal mengalami adaptasi atas perlakuan rasis yang mereka terima, berupa pengakuan atas subordinasi diri mereka terhadap kelompok rasis tersebut.
Dalam kontek Papua, menghina orang Papua dengan sebutan monyet adalah model rasis lama. Dalam teori Darwin, monyet adalah perkembangan makhluk pada tingkat yang belum sempurna. Artinya, belum mencapai tahapan menjadi manusia. Teori Darwin ini dalam kaitan teori rasisme sering dipakai untuk menjelaskan dominasi kulit putih terhadap kulit bewarna, khususnya kulit hitam.
Pada waktu bersamaan dengan mahasiswa Papua yang dikabarkan tidak mengibarkan bendera Merah-Putih di Surabaya, Wali Kota Sibolga mengkritik warga keturunan Tionghoa yang tidak mengibarkan bendera di sana. Kritik Wali Kota ini juga viral, tapi tidak ada tindakan aparatur di sana. Secara simbolik, merujuk sosiolog Goffman, hirarki orang-orang Papua memang bisa cenderung dipandang rendah dalam mata aparatur kita.
Meskipun dalam fase rasis model lama, banyak model-model diskriminasi dan rasis baru yang perlu diselidiki terkait Papua. Apakah Papua memang di desain untuk menjadi daerah pergolakan? Apakah Papua didesain untuk jadi daerah penghisapan?
Saya yang monyet
Mengejek orang Papua monyet adalah sebuah kejahatan kemanusian. Dalam ajaran Islam misalnya, Rasulullah memastikan bahwa kelompok pertama masuk surga adalah Bilal Bin Rabah. Budak yang kulitnya paling hitam di masa Nabi.
Ajaran-ajaran kemanusian lainnya menempatkan persoalan ras ini dalam isu basic rights atau civil rights yaitu hak-hak dasar manusia. Atau disebut state of nature di barat atau kodrat Ilahi bagi orang beragama. Hak-hak dasar ini tidak boleh dibedakan antara manusia.
Manusia tidak bisa jahat karena warna kulitnya. Manusia jahat karena pikirannya dan niatnya. Masa di mana manusia pernah merasa rasnya lebih unggul, pernah membuat Hitler membunuh jutaan Yahudi di Eropa dan pernah membuat slavery alias perbudakan di jaman Romawi dan kolonial.
Jika Bangsa Indonesia non Papua mengejek orang-orang Papua monyet, maka sesungguhnya mereka merasa lebih mulia sebagai makhluk hidup dari orang Papua. Tentu ini sebuah kejahatan.
Seberapa jauh soal monyet ini memerangkap alam bawah sadar kita? Mudah-mudahan cuma segelintir orang atau aparatur saja. Jika meluas, perlu edukasi anti rasisme di sekolah-sekolah. Jika segelintir, harus dibawa ke aparatur hukum.
Semoga orang-orang Papua memaafkan kami. Setidaknya memaafkan saya yang non Papua. Mungkin saya lah monyet itu.
Salam