Oleh:
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya
SERUJI.CO.ID – Selama 70 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini mengalami krisis kepemimpinan yang makin serius. Indikator yang paling nyata adalah kegagalan bangsa ini menyiapkan sebuah Tim Sepakbola berklas dunia untuk bertanding di World Cup 2018 di Rusia. Kita selalu kalah dibanding Jepang, Korea Selatan, dan Iran. Kita gagal memilih 20 pemuda dari 250 juta penduduk untuk membentuk sebuah skuad sepakbola yang membanggakan.
Sebagai mayoritas, ummat Islam praktis menjadi sekedar penonton tanpa-agenda hampir semua kegiatan pembangunan. Selama itu pula ummat Islam Indonesia dipaksa hidup berekonomi ribawi sehingga bangsa ini hidup dalam hutang yang memperbudak serta merampas harga diri dan kedaulatannya. Menghalalkan riba adalah syirik, dosa besar yang tidak terampuni.
Mengapa ini bisa dan dibiarkan terjadi ? Hemat saya, kita terutama ummat Islam telah agal menyediakan prasyarat budaya yang dibutuhkan untuk merdeka segera setelah proklamasi kemerdekaan. Pendidikan sebagai upaya menyediakan modal budaya itu telah direduksi menjadi sebuah sistem persekolahan massal paksa, tidak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi untuk sebuah proyek besar pembaratan yaitu untuk mengamankan investasi asing, menyediakan buruh murah dan masyarakat konsumtif, termasuk konsumsi produk-produk budaya dan pikiran Barat.
Melalui rezim mutu berbasis standard, yang dipentingkan oleh persekolahan adalah kepatuhan pegawai, dan ketaatan pada aturan, bukan kreativiti, apalagi jiwa merdeka. Jiwa merdeka tidak saja mengganggu investasi asing, tapi juga membahayakan upaya neokolonilaisme dan imperialisme, seperti yang diperingatkan Bung Karno. Di sekolah, keunikan setiap pribadi murid digusur agar menjadi seragam sesuai standard. Pada saat standard dunia dijadikan ukuran sukses, murid semakin diasingkan dari jati dirinya sendiri.
Jiwa merdeka adalah prasyarat bagi kemampuan memikul tanggungjawab, sedangkan kepemimpinan adalah kapasitas memikul tanggungjawab. Jiwa merdeka adalah lahan subur bagi sikap jujur, amanah, peduli dan cerdas. Keempat sikap itu adalah bekal untuk menjadi pemimpin yang efektif dan mampu bertindak etis. Demikianlah mengapa persekolahan massal ini merupakan akar masalah krisis kepemimpinan di semua sektor kehidupan kita saat ini.
Sesuai wasiyat Ki Hadjar Dewantara, kita harus kembalikan tanggungjawab mendidik adab dan akhlaq warga muda pada keluarga dan masyarakat. Ayah yang -dengan berbagai alasan- menyerahkan pendidikan adab dan akhlaq anak-anaknya ke sekolah adalah tindakan terburuk yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin keluarga. Latihan kepemimpinan harus dimulai dalam keluarga. Fenomena ” fatherless country” perlu kita waspadai karena merupakan akar krisis kepemimpinan ini.
Kita harus segera melakukan deschooling, menggeser paradigma schooling ke learning; dari mutu ke relevansi; dari dayasaing ke dayasanding; menggeser fokus pendidikan dari sekolah ke rumah dan masjid. Jika tidak, bangsa ini akan makin terpuruk dan bubar tidak lama lagi.
Gunung Anyar, 4/7/2018.