Saat ini sedang berlangsung upaya revisi UU KPK yang diprakarsai oleh DPR. Beberapa pihak menilai bahwa revisi ini dimaksudkan untuk melemahkan KPK. Hemat saya, usulan revisi ini disebabkan karena KPK dengan platform UU yang sudah ada telah keliru strategi dalam melaksanakan misi utamanya sebagai lembaga adhoc dengan posisi dan kewenangan yang istimewa. Saya punya tiga catatan.
Pertama, sebagai lembaga super KPK telah terjebak pada persoalan teknis hukum, sibuk menangkapi orang-orang, terutama eksekutif, melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang selalu heboh memperoleh liputan luas oleh media. Padahal KPK pada dasarnya adalah lembaga dengan misi etis di tengah praktek hukum yang carut marut.
Namun, KPK justru kurang membangun sistem yang mempersempit peluang korupsi. Artinya, upaya-upaya pencegahan korupsi secara sistemik justru kurang memperoleh perhatian. Misalnya saja perubahan sistem politik yang lebih murah ongkosnya, penerapan teknologi informasi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas, membangun budaya pemerintahan yang lebih etis.
KPK juga tidak mendorong pembuktian terbalik, atau membangun sistem remunerasi pegawai negeri sipil dan tentara yang meritokratik. Mencegah korupsi hampir selalu lebih baik daripada menangkap koruptor.
Kedua, sebagai lembaga adhoc yang istimewa, KPK seharusnya diperkuat independensi dan sumberdayanya, tapi harus menetapkan tenggat waktu kapan misi utamanya selesai secara tuntas sehingga dapat dibubarkan.
Seharusnya, KPK secepat mungkin menetapkan Peta Jalan Pemberantasan Korupsi, misalnya untuk masa 2019-2029 (10 tahun) dengan fokus untuk mereformasi lembaga-lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, kehakiman) yang sejak reformasi telah kehilangan kepercayaan masyarakat.
Juga reformasi lembaga-lembaga lain yang menunjukkan resiko korupsi (peluang korupsi dan konsekuensi korupsi) yang besar (risk-based corruption prevention system), termasuk di tubuh TNI. Sebagai lembaga istimewa ekstra konstitusional, KPK tidak boleh menjadi lembaga permanen.
Ketiga, para politisi sebagai law makers yang menghuni jagad politik seharusnya menerapkan standard etika tertinggi, bukan justru bermain akrobat dengan standard etika terendah. Kalau yang terakhir ini yang melatarbelakangi revisi UU KPK ini, maka masyarakat madani harus berdiri di samping KPK.
Setiap manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan jahat. Kita membutuhkan sebuah sistem legal dan institusional yang mendorong kebaikan sekaligus mencegah keburukan.
Rosyid College of Arts and Maritime Studies, Gunung Anyar, Surabaya, 10/9/2019