Kanal

Pro-Kontra

Populer

Kirim Tulisan

Kehancuran Demokrasi dan Tantangan Kaum Cendikiawan

Konperensi Indonesia Update di Canberra yang diadakan Australia National University (ANU), pada 6-7 September 2019 lalu mengangkat tema “From Stagnation to Regression”, menyoroti kehancuran kualitas demokrasi Indonesia. Menurutnya, “Political illiberalism, weakening party foundations and escalating sectarian polarization have significantly undermined Indonesia’s democratic quality. This trend, which began in the early 2010s, extended into 2019 elections and was accelerated by them” (the JP, 21/9).

Konprensi ini sebelumnya dikritik sebagaian orang karena temanya, dianggap “overdosis” seolah-olah menyerang total bahwa negara demokrasi kita telah berubah menjadi otoritarian.

Namun, Eve Warburton dan Thomas Power, dalam “Debating quality of Indonesia’s democracy”, the JP 22/7, menjelaskan bahwa tuduhan Indonesia diktatorship tidak benar, yang dimaksud “Democratic Regression” adalah “a slow moving process”, yang memproduksi “illiberal democracy”, “competitive authoritarian system” dan “hybrid regimes”.

Illiberal Democracy sebagai contoh adalah membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) tanpa pengadilan dengan justifikasi mempertahankan masyarakat pluralistik.


Konprensi para ahli Indonesia di Australia itu, sesungguhnya belum memasuki hari-hari di mana gelombang demonstrasi mahasiswa merebak di seluruh penjuru tanah air baru-baru ini atau dua minggu setelah konprensi itu. Mahasiswa marah karena mempersepsikan rezim berkuasa secara sepihak melumpuhkam agenda anti korupsi di Indonesia.

Revisi UU KPK yang melumpuhkan otoritas KPK dalam menangkap koruptor kakap dan pemilihan ketua KPK yang dianggap tidak becus, membuat mahasiwa menduduki gedung DPR di Jakarta, menduduki gedung DPRD di daerah-daerah, serta terlibat dalam perkelahian dengan pihak keamanan yang menghalau mereka dengan kekerasan.

Cara kasar rezim Jokowi terhadap aksi mahasiwa ini tentu akan memasukkan tambahan baru bagi kaum cendikiawan barat dalam menilai, sesungguhnya rezim ini bukan lagi pada fase “illiberal democracy” melainkan lebih jauh, hancurnya demokrasi. Mengapa?

“Illiberal Democracy” yang diargumentasikan pada kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok yang distigmakan fundamentalis (kanan), telah berhasil mengakibatkan sikap pro kontra banyak cendikiawan, karena tindakan kekerasan negara dianggap sebagian mereka penting untuk menjaga eksistensi masyarakat yang harmonis. Setidaknya, cendikiawan anti Islam, akan menerima tindakan represif rezim Jokowi pada kelompok-kelompok Islam.

Namun, ketika kekerasan dilakukan terhadap mahasiswa, apalagi menimbulkan korban kematian dan luka-luka, maka semua cendikiawan akan sepakat bahwa standar demokrasi pun tidak lagi diterapkan di Indonesia.

Professor Paige Johnson Tan, dalam “The New Normal: Indonesian Democracy Twenty Years after Suharto”, Kyoto Review, 2018, melukiskan demokrasi kita menjadi “the only game in town”. Meminjam pendekatan Linz & Alfred Stepan, Jonson menguraikan 6 ukuran konsolidasi demokrasi, yakni 1) stateness, 2) civil society, 3) political society, 4) rule of low, 5) state bureaucracy dan 6) Economic society.

Dari keenam hal di atas, menurut Johson, meskipun “stateness” terjadi, untuk “nurturing growth and establishing security” (keberadaan negara mampu menciptakan pertumbuhan dan menjaga keamanan), namun jelas terlihat konsolidasi demokrasi lemah. Kelemahan tersebut terlihat pada civil society yang diluar etos demokrasi, media yang tidak profesional, legitimasi parpol yang rendah, birokrasi yang korup dan bahaya lainnya lagi yaitu dikendalikannya sistem politik oleh orang orang kaya.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulisnya. Tak sependapat dengan tulisan ini? Silahkan tulis pendapat kamu di sini

Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulisnya. Redaksi Katarsis.id tidak memiliki tanggungjawab apapun atas hal-hal yang dapat ditimbulkan tulisan tersebut, namun setiap orang bisa membuat aduan ke redaksi@katarsis.id yang akan ditindaklanjuti sebaik mungkin.

Ingin Jadi Penulis, silahkan bergabung di sini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Dr. Syahganda Nainggolan
Dr. Syahganda Nainggolan
Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle

Artikel Terkait