Pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin meluncurkan jargon “SDM Unggul Indonesia Maju”. Saya tidak tahu persis siapa yang merumuskan jargon ini dan bagaimana sampai pada rumusan semacam itu. Saya akan memberikan catatan kritis atas jargon ini.
Frasa Indonesia maju tidak dikenal dalam konstitusi kita. Saya menduga frasa ini diimpor dari asing melalui istilah “negara maju” atau “developed state” sebagai tujuan perkembangan semua “negara terbelakang” atau “under developed state“. Jadi ada mentalitas rendah diri dibalik jargon ini. Jika memang ini rujukannya, maka kita semakin terjerumus dalam kubangan keterbelakangan. Mengapa ?
Pertama, kita sesungguhnya memiliki model pembangunan sendiri yang dirumuskan oleh para pendiri Republik ini. Model itu dirumuskan dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD45 sebelum diamandemen. Namun melalui serangkaian amandemen itu, kita justru makin menjauh dari model pembangunan yang menjadi amanah Pembukaan konstitusi.
Amandemen itulah yang telah membuka pintu bagi jargon “kemajuan” ala Barat yang sejauh ini telah memperoleh platformnya dalam UUD2002 yang liberal. Pendek kata, yang disebut maju adalah makin mirip Barat. Pemilihan langsung one man one vote berbasis elektabilitas, misalnya, telah meminggirkan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ini pintu bagi liberalisasi pasar politik yang terbukti makin mahal ongkosnya sekaligus telah membuka kartel partai politik.
Kedua, kita juga memiliki model pendidikan yang unik yang berbeda dengan model persekolahan Barat. Model pendidikan kita diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk mendungukan bangsa. Namun pendidikan kita telah dikerdilkan secara terstruktur, sistemik dan masif menjadi sekedar persekolahan.
Persekolahan paksa massal sejak Orde Baru tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan bangsa, tapi sekedar menjadi instrumen teknokratik penyiapan tenaga kerja trampil yang dibutuhkan para investor pemilik industri. Dari persekolahan itulah telah dilahirkan tenaga kerja yang cukup trampil untuk menjalankan industri sekaligus cukup dungu untuk menjadi alat produksi bagi kepentingan modal, terutama modal asing.
Persekolahan juga terbukti telah memperpanjang masa kekanak-kanakan (childishness period) warga muda. Dengan mengasingkannya dari masyarakat, kedewasaan sosial anak-anak itu terlambat berkembang, sedangkan kedewasaan biologisnya justru dipercepat. Akibatnya banyak terjadi kasus penyimpangan perilaku seks dan perlambatan usia menikah. Inilah yang menjadi sebab utama proses penuaan masyarakat (ageing society) di negara-negara maju.
Seperti diwasiyatkan Ki Hadjar Dewantara, tujuan utama pendidikan adalah membangun jiwa merdeka. Di dalam jiwa merdeka itulah kecerdasan itu tumbuh subur bersama kejujuran, keamanahan dan kepedulian. Tujuan persekolahan tidak sesuai dengan wasiyat Ki Hadjar Dewantara ini.
Pendidikan seharusnya ditujukan untuk menyediakan syarat budaya bagi bangsa merdeka, yaitu jiwa merdeka, bukan justru untuk melanggengkan penjajahan nekolimik seperti yang telah berlangsung sejak Orde Baru hingga hari ini. Penting memahami nasehat Amartya Sen yang merumuskan bahwa pembangunan adalah upaya memperluas kemerdekaan.
Ketiga, dengan mengambil tolok ukur “negara maju” yang nekolimik itu, kita justru jatuh dalam penjajahan baru tanpa tank, bedil dan mesiu. Memang itulah strategi penjajahan baru penjajah: kita dibujuk, kalau tidak mau dipaksa atau bullied untuk mengikuti model pembangunan mereka.
Akibatnya, saat kita semakin “maju”, menjadi semakin mirip dengan para penjajah, kita telah mencampakkan amanah para pendiri bangsa yang telah merumuskannya dalam UUD45 sebagai pernyataan perlawanan terhadap penjajahan.
Keempat, kemajuan yang dijanjikan Barat adalah keterbelakangan terselubung. Kemajuan Barat ditopang oleh overconsumption and production yang eksploitatif sehingga tidak berkelanjutan, malah merusak ekosistem bumi secara serius, serta merusak nilai-nilai keluarga.
Dengan tingkat konsumsi energi perkapita negara maju yang mencapai 7-10 kali konsumsi energi perkapita kita (sekitar 700 liter setara minyak pertahun), kemajuan yang dengan sombong dipamerkan Barat adalah bukti kesalahan model pembangunan yang mereka banggakan. Ditambah dengan kehancuran nilai-nilai keluarga, model kehidupan “negara maju” yang boros energi ini tidak pantas ditiru.
Pada saat kita mengenang Soempah Pemoeda 91 tahun silam yang diprakarsai oleh aktifis muda berusia 20-25 tahun, upaya memperlama panen bonus demografi, pembangunan SDM unggul itu sebenarnya jelas sekali tolok ukurnya: setiap warga negara yang berumur 18 tahun memiliki kompetensi untuk hidup bertanggungjawab, mandiri, sehat dan produktif. Indikatornya sederhana: siap menikah memulai membentuk keluarga sakiinah mawaddah wa rahmah.
Gunung Anyar, 28/10/2019