Kanal

Pro-Kontra

Populer

Kirim Tulisan

Soempah Pemoeda Tanpa Islam?

Senin, 28 Oktober 2019, kita memperingati sebuah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia modern: Soempah Pemoeda. Sembilan puluh satu tahun silam sekelompok pemuda dari berbagai latar belakang menyatakan diri sebagai sebuah bangsa baru, yaitu bangsa Indonesia. Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbahasa satu bahasa Indonesia.

Peristiwa itu merupakan sebuah karya kreatif segelintir anak muda yang sanggup membayangkan sebuah entitas diri baru yang melampaui semua primordialitas, terutama tribalisme. Peristiwa inilah yang memungkinkan Indonesia diproklamasikan kemerdekannya oleh Bung Karno dan Bung Hatta 17 tahun kemudian.

Richard Florida beberapa puluh tahun kemudian mengatakan bahwa untuk menjadi komunitas kreatif diperlukan 3T: kolam Talenta, Toleransi dan Teknologi. Jika dibandingkan dengan 91 tahun silam, maka faktor yang menonjol yang memungkinkan Soempah Pemoeda itu terjadi adalah Toleransi. Bagaimana menjelaskan kekuatan Toleransi yang tinggi saat itu?

Jika toleransi adalah sikap menerima perbedaan primordialitas secara positif, maka toleransi yang tinggi yang menjadi modal sosial bangsa ini kala itu hanya bisa dijelaskan oleh satu faktor: Islam.


Islam telah mewarnai perjalanan bangsa ini sejak abad 7M saat para pedagang Arabia melakukan perdagangan rempah-rempah dari Timur Tengah menuju India, lalu ke China melalui Nusantara. Islam telah memperkenalkan gaya hidup metropolitan lintas bangsa melalui jalan damai perdagangan yang saling menguntungkan. Segera perlu dicatat bahwa perdagangan ini dimungkinkan oleh penguasaan teknologi kemaritiman oleh ummat Islam. Dalam penggalian Bung Karno itulah dia menemukan Pancasila sebagai nilai-nilai yang subur tumbuh di Nusantara.

Saat beragam suku di Nusantara menerima Islam dan menjadi muslim secara damai, ini adalah ikhtiyar kreatif yang melampaui primordialitas kesukuan. Muslim menerima keragaman sebagai sebuah rahmat bagi sebuah kehidupan bersama yang damai dengan menjadikan keadilan sebagai asas. Kesadaran muslim itulah yang menjadi enabler bagi kesadaran baru sebagai bangsa Indonesia sebagai sebuah imagined community.

Jika akhir-akhir ini banyak narasi yang menyudutkan Islam sebagai anasir perpecahan, dan anti-kebhinnekaan, narasi itu tidak saja ahistoris, keliru tapi juga menyesatkan dan fitnah bagi muslim Indonesia. Pandangan Prof. Arief Satrya Rektor IPB soal merawat kebhinnekaan tanpa menyebut sama sekali Islam sebagai perekat kebhinnekaan itu perlu dilengkapi. Apalagi ada banyak bukti penulisan sejarah nasional dengan semangat deislamisasi seperti dinyatakan oleh sejarawan Mansur Suryanegara.

Persatuan Indonesia juga tidak mungkin dibayangkan tanpa kemaritiman. Adalah ummat Islam Nusantara yang telah mengambil peran penting dalam penguasaan teknologi maritim ini. Deislamisasi dalam penulisan sejarah Indonesia adalah sekaligus demaritimisasi. Perdagangan Nusantara dan dunia tidak mungkin dilakukan tanpa armada kapal yang diawaki oleh pelaut-pelaut muslim yang menguasai navigasi dan bahasa Indonesia sebagai lingua franca. Peran huruf Arab pegon dalam penulisan dokumen-dokumen penting saat itu jauh mendahului huruf latin yang diperkenalkan oleh Belanda.

Dalam perspektif itulah kita harus hentikan semua semburan kebohongan yang hendak menghilangkan peran Islam dalam pembentukan kesadaran kita sebagai sebuah bangsa baru yang disebut bangsa Indonesia. Bangsa ini akan tetap ada jika manusia-manusianya masih sanggup membayangkan Indonesia dalam sebuah pengalaman mengIndonesia yang memberi harapan, bukan yang memupuskannya. Tidak mungkin millenials Indonesia saat ini bersumpah setia pada Indonesia tanpa muslim millenials.

Jatingaleh, 27/10/2019

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulisnya. Tak sependapat dengan tulisan ini? Silahkan tulis pendapat kamu di sini

Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulisnya. Redaksi Katarsis.id tidak memiliki tanggungjawab apapun atas hal-hal yang dapat ditimbulkan tulisan tersebut, namun setiap orang bisa membuat aduan ke redaksi@katarsis.id yang akan ditindaklanjuti sebaik mungkin.

Ingin Jadi Penulis, silahkan bergabung di sini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Prof. Daniel M. Rosyid
Prof. Daniel M. Rosyid
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Artikel Terkait