Pandangan dan pernyataan Din Syamsudin, Rizal Ramli, dan lain lain, terakhir Said Aqil Siradj, beberapa hari kemarin, telah meruntuhkan agenda aksi Jokowi terkait pemusnahan radikalisme. Jokowi langsung meralat istilah radikalisme untuk diganti dengan “manipulator agama”. Hal itu masih dalam bulan yang sama di akhir Oktober lalu, antara perintah Jokowi kepada menteri agama itu dan kemudian dia mencoba menganulirnya.
Pemimpin, seperti Jokowi, cenderung tanpa pengetahuan yang cukup tentang narasi besar bangsa ini ke depan, merasa gampang memainkan kata-kata yang konsepnya, yang hanya bisa dipahami melalui kajian yang dalam atas konsep dan definisi tersebut, akibatnya, kata tersebut, radikalisme, harus ditarik kembali.
Namun, sayangnya, menteri agama, yang merasa mendapatkan tugas, sebelum adanya penganuliran, sudah bergerak lebih cepat lagi, dengan menterjemahakan radikalisme pada simbol, seperti Cingkrang (celana yang dipake sampe batas atas lutut kaki) dan cadar (berjiblab dengan ikut menutup wajah kecuali mata).
Menteri Agama (Menag) mengatakan bahwa pegawainya yang pake cingkrang dilarang masuk kantor, alias keluar dari pegawai negeri. Meskipun menteri ini menganulir lagi bahwa itu bukan pelarangan, hanya rekomendasi, namun wakil menteri agama, yang harus menunjukkan loyalitasnya bersifat lebih ekstrim, telah melarang penggunaan cadar dan Cingkrang ini di lingkungan kementerian agama.
Pekerjaan Menag dalam mem “break down” radikalisme kepada simbol berpakaian merupakan kemajuan besar, meskipun terburu-buru, lalu salah.
Clifford Geertz dalam “Religion as a cultural system”, 1993, mengetengahkan pentingnya memperhatikan simbol dalam sebuah konsep budaya. Simbol menurutnya merupakan alat atau metoda manusia berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan dan sikap dalam kehidupan.
Agama menurut Geertz adalah “a system of symbols”. Menurutnya, simbol agama, merupakan kode atau “bahasa isyarat” keterhubungan antara manusia. (“a symbolism relating man’s sphere of existence to a wider sphere within which it is conceived to rest, that both the affirmation and denial are made“).
Cadar dan Cingkrang merupakan dua simbol pakaian muslim yang berkembang di Indonesia saat ini. Cadar merupakan varian hijab seperti berselendang di masa lalu dan jilbab saat ini.
Cingkrang sendiri merupakan ajaran agama Islam yang menutup aurat lelaki. Variasi penafsiran penutupan ini sampai di bawah lutut diatas mata kaki, namun sebagiannya tidak mengharuskan batas bawah tersebut. Disamping cingkrang, trend ummat Islam di Indonesia saat ini adalah gamis, serta sebagiannya menggunakan (lagi) sarung.
Lalu apakah cadar dan cingkrang dua buah simbol kejahatan? Simbol iblis? Ataukah keduanya simbol kesalehan?
Geerzt yang menekankan simbol dalam kajian budaya tentu terkait dengan “symbol” dan “meaning” dalam pendekatan “symbolic-interactional“, yang dikembangkan para sosologi, khususnya Max Weber. “Meaning” atau makna dari simbol penting untuk melihat sejauh apa interaksi sosial akan berjalan baik. Jadi pertanyaan di atas harus mampu membongkar makna dari simbol cadar dan cingkrang tersebut.
Di Eropa, penggunaan cadar beberapa tahun lalu dilarang. Denda diberlakukan terhadap wanita muslim yang menggunakan cadar di beberapa area/kantor publik.
Ketidaksukaan masyarakat barat terhadap simbol-simbol yang berasosiasi dengan Islam dapat ditarik jauh dalam sejarah permusuhan Kristen dan Islam di masa lalu. Pembantaian 50 orang jemaah Masjid beberapa waktu lalu di Christchurch, New Zealand, misalnya sebagai bagian orang-orang barat, terdapat jejak digital pembunuhnya terinspirasi kelanjutan perang Salib terhadap ummat Islam.
Disamping konflik Kristen vs. Islam di era pertengahan lalu, kapitalisme barat (non agama) juga mempunyai permusuhan atau ketidaksesuaian konsep dengan pandangan Islam soal peradaban. Sebab, kolonialisme barat terhadap negara2 Islam menghadapi perlawanan konsisten dari organ perjuangan Islam.
Islam di barat, sebagai agama migran di sana, harus beradaptasi pada peradaban barat tersebut. Beberap pengusaha keturunan arab di Prancis dan Belgia, misalnya, meski membayar berapapun denda yang dikenakan kepada perempuan muslim terkena denda, sebagai bentuk empati, namun, akan sampai kapan pelarangan cadar ini, belum diketahui.