KATARSIS.ID – Babi termasuk binatang yang diberi label haram dalam Al-Qur’an. Tidak seperti label halal MUI yang bisa dirubah, label pengharaman ini berlaku sepanjang zaman. Makanya sejak kecil kita sudah diajari bahwa hukum mengkonsumsi babi adalah haram.
Lucunya, label pengharaman ini semakin melebar sampai pada tarap derajat sosial. Misalnya, wanita berjilbab yang memberi minum babi dianggap melanggar adat sosial. Dia akan dikenai hukuman hujatan sepanjang hidupnya. Lalu di cap sebagai wanita murahan bahkan menghina Islam karena memadukan dua komponen yang tidak sejalan antara jilbab dengan babi.
Dirinya akan dianggap sebagai pendosa besar, bahkan mengalahkan mereka yang melakukan pembunuhan, perzinahan, dan perbuatan kejahatan semacamnya. Rasanya seluruh kebaikannya telah terbakar oleh sesuatu yang dianggap sebagai kebobrokan moral. Dirinya dianggap sebagai pendosa besar yang kesalahannya tidak akan pernah mendapat ampunan dan wajib mendapatkan hujatan.
Padahal seharusnya tidak begitu, tentu kita familiar dengan kisah pelacur yang memberi minum seekor anjing. Dalam Islam, anjing juga termasuk hewan yang diharamkan. Dan kita melihat bagaimana seorang pelacur yang diposisikan sebagai seorang pendosa yang gemar melakukan zina. Namun bagaimana Allah menggampangkan itu semua. Allah tidak melihat dosa yang dilakukan pelacur tersebut namun melihat nilai kasih sayang yang ada pada dirinya. Bisa dibayangkan, bagaimana jika yang berada di posisi tersebut adalah seorang muslim yang selalu taat dan mendekat kepada Allah swt, pasti sudah diberikan surga dengan tingkatan cukup tinggi.
Nampaknya kita salah menafsirkan kata haram dengan kata benci. Kita selalu mengaitkan kata haram dengan kata benci. Sehingga jika sesuatu itu haram sudah pasti akan dibenci. Karena dibenci maka seluruh orang juga harus membencinya. Kita terjebak pada persepsi kata yang melahirkan gelombang sikap yang tidak seharusnya dimunculkan.
Islam adalah agama kasih sayang, dimana seluruh alam mengharapkan rahmah dari setiap umat Islam. Umat Islam senantiasa diajarkan untuk menyayangi sesama, cinta kemanusiaan, dan ramah akan persatuan. Dalam kenyataannya pun Tuhan mendapat gelar sebagai Yang Maha Penyayang. Akan tetapi, hal itu berubah sejak negara api menyerang. Umat dibutakan akan aksara, diarahkan pada pemahaman dan tafsiran yang berbeda. Umat menjadi kritis namun tak terarah tujuannya.
Memang benar babi itu dilarang, akan tetapi kita dilarang untuk membencinya. Bukankah Islam selalu mengajarkan hambanya untuk menyebarkan kasih sayang kepada seluruh alam?
Dan disini babi juga termasuk bagian dari alam itu, dan sudah seharusnya diberikan kasih sayang yang sama seperti hewan yang lainnya. Kita pun bisa membayangkan bagaimana jika kita terlahir dari keluarga yang bobrok moralnya, bukankah kita juga berhak diberikan kasih sayang itu?. Bukankah kita juga berhak untuk diberi bantuan?.
Inti dari agama Islam adalah sebagai penyebar kasih sayang. Allah memberikan label pengharaman pada babi bukan berarti harus dibenci. Tidak mungkin bisa kita menyayangi sesuatu jika masih ada rasa benci di hati. Dan tidak mungkin ada rasa cinta jika tidak dilengkapi rasa kasih sayang di dalamnya.
Allah menciptakan pengharaman babi untuk menguji seberapa besar tingkat kasih sayang kita pada seluruh alam. Apakah kita mampu menerima sesuatu yang diharamkan?. Apakah kita mampu berbagi kasih dengan mereka yang membutuhkan dengan catatan kejelekan?. Apakah kita mampu melaksanakan semua itu, dan bagaimana caranya?.
Rasanya Allah ingin menguji itu semua. Allah ingin menunjukkan bahwa kunci dari semua tindak kebajikan diawali dengan rasa penerimaan. Kita tidak mungkin bisa bersatu jika tidak menerima pihak minoritas sebagai saudara. Begitu pula, diskriminasi ataupun rasisme yang belakangan ini terjadi muncul karena sifat keras kita yang tidak menganggap mereka sebagai saudara.
Betapa sering kita mengabaikan mereka karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting?. Maka pertanyaan ini yang seharusnya dijadikan fokus untuk membangun negera Indonesia. Ideologi Negara kita adalah Pancasila yang setiap silanya harus mengandung unsur penerimaan. Dalam Islam, kita tidak mungkin bisa melakukan keutamaan sholat berjamaah jika tidak ada rasa penerimaan. Kita pula tidak akan mau mengulurkan bantuan, berkumpul bersama, membangun diskusi, serta membangun keadilan jika tidak diliputi rasa penerimaan.
Nampaknya Allah mengajarkan pelajaran besar kepada kita dari pengharaman babi. Sebenarnya kita saja yang salah memahami makna haram dan benci. Sehingga ketika sesuatu itu haram, maka ramai-ramai kita benci. Pada akhirnya muncul pertanyaan besar, jika Allah Maha Penyayang, mengapa babi harus dibenci?. Padahal haram hukumnya melibatkan kata benci dalam rasa sayang.
Maka sudah seharusnya kita mengubah tatanan yang salah. kita kembalikan wujud Islam menjadi tafsir yang menyenangkan lagi penuh kasih sayang. Islam akan terlihat lebih indah jika tafsir yang bermunculan terlihat cerah. Tidak menghakimi siapapun, menerima orang dalam keadaan apapun, serta rela bersama walaupun status tidak setara. Sudahkah kita belajar dari pengharaman babi?.