Sesungguhnya Allah swt telah menciptakan manusia dari berbagai macam suku dan kabilah, untuk saling mengenal dan berbuat ma’ruf. Sedangkan kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh asal-usul primordialnya, tapi oleh ketaqwaannya sebagai sebuah kerja kreativ. Di titik inilah puncak ujian ego terjadi : superioritas spiritual kalangan yang mengaku paling bertaqwa yang berani menghalalkan yang telah diharamkan Allah swt.
Allah SWT berfirman:
يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat 49: 13)
Segera harus dicermati bahwa satuan sosial yang terpenting adalah lembaga keluarga yang dibentuk melalui pernikahan sebagai sebuah ikatan janji berat (mitsaaqan ghaliitha) sesuai sunnah Rasulullah saw.
Keluarga yang sehat dan produktif adalah komponen modal sosial yang paling penting dalam menentukan kemajuan sebuah bangsa. Dalam keluarga itulah upaya pemupukan modal sosial itu seharusnya diajarkan dan diteladankan oleh orangtua pada warga muda: tanggungjawab, kepedulian, kesediaan berkorban dan kepercayaan serta kesetiaan (pada janji pernikahan) yang dilandasi cinta dan kasih sayang tanpa syarat.
Kehidupan berkeluarga adalah kawah candradimuka ujian nafs dalam pengorbanan ego masing-masing suami dan istri. Kehidupan berkeluarga adalah wadah pelatihan penting dalam investasi modal sosial sekaligus melanjutkan tugas regenerasi. Proses-proses kehancuran keluarga yg menjadi hal biasa di masyarakat Barat dan kini mulai melanda kita secara langsung akan menggerogoti modal sosial masyarakat demokratis kita.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kebhinnekaan, hanya manusia yang merdeka yang telah mampu membebaskan dirinya dari kuasa syahwat dan ego iblisy yang mampu secara efektif menjalankan tugas-tugas demokratik. Manusia seperti inilah yang memiliki kapasitas untuk ber musyawarah bil hikmah yang akan mampu memilih pemimpin yang amanah dengan tugas utama menegakkan keadilan. Tanpa kapasitas itu, proses-proses demokratis akan berlangsung sebagai panggung imoralitas jahiliy tuna-hikmah yang hanya merekrut pemimpin-pemimpin yang kemaruk kekuasaan.
Ke depan ummat Islam Indonesia memikul tanggungjawab untuk mengembalikan proses-proses demokratis yang deformatif ini ke jalan musyawarah bil hikmah sesuai amanah Pembukaan UUD45. Melalui Iedul Adha ini, ummat Islam merayakan kemerdekaan atas kecongkakan iblisy untuk melakukan tugas-tugas demokratik sebagai jalan nabiyullah Ibrahim dan Ismail.
Allahu akbar 2x. Laa ilaaha illa Allah;
Allahu Akbar 2x wa lillahil hamd !!!!!