Kontroversi penafsiran Muhammad Syahrur terhadap ayat Milk al-Yamin (Q.S.al-Mukminun: 5-6) menarik untuk dicermati kembali dan dikritisi.
Terlebih kemudian Abdul Aziz, dosen IAIN Surakarta, penulis disertasi menjadikan tafsiran Syahrur tersebut dianggap sebagai solusi untuk melegalkan hubungan seks di luar nikah yang konvensional. Bahkan, mengusulkannya sebagai perbaikan hukum positif di Indonesia, meski dengan syarat-syarat tertentu.
Syahrur, pemikir Syiria selama ini dikenal kontroversial, dia memang menyatakan bahwa (Q.S.al-Mukminun: 5-6) memberikan informasi tentang dua model hubungan seksual (al-`alâqah al-jinsiyah). Pertama, hubungan seks yang diikat oleh ikatan pernikahan yang tercermin dalam term illâ `ala azwâjihim.
Kedua, hubungan seks yang tidak lewat pernikahan, tercermin dalam term aw mâ malakat aimânuhum, yang secara harafiah berarti, apa yang dimiliki oleh tangan kanan mereka. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah Milk Yamin.
Para ulama dulu dan sekarang umumnya memahami frasa Milk Yamin sebagai budak yang dimiliki. Dulu, budak memang boleh dijadikan partner seksual oleh pihak tuannya, tanpa harus melalui pernikahan. Ini sebagaimana dapat dibaca dalam literatur kitab-kitab fikih dan tafsir.
Namun, bagi Syahrur Milkul Yamin di era kontemporer bukan budak, melainkan `aqdun ihshan (kontrak kesepakatan untuk sama-sama menjaga diri hanya untuk berhubungan seks dengan pasangan tersebut saja, tidak dengan yang lain). Atau yang juga disebut dengan istilah zawaj mut’ah (kawin kontrak) atau zawaz misyâr dimana di situ tidak ada mahar, thalaq, tidak pewarisan. Karena, memang tujuan pokoknya hanya sekedar tujuan seksual (hadf jinsi). (Lihat, Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah… hlm. 307-308)
Hemat penulis, konsep Milk al-Yamîn ala Muhammad Syahrur memiliki implikasi yang cukup serius. Ia dapat sebagai pintu masuk untuk menghalalkan ‘seks bebas’, bagi sebagian orang yang salah paham. Ada pembaca buku Syahrur, yang salah paham, lalu menganggap bahwa Syahrur membolehkan hubungan zina “seks bebas” di luar nikah.
Dalam buku al-Kitab wal al-Qur’an; Qira’ah Muashirah, hlm. 628 dengan tegas Syahrur menyatakan bahwa zina adalah `alaqah al-jimâ’ al jinsi al-mubâsyir bayn al-rajul wal ma’ah bidun `aqd al-nikah, atau yang juga disebut dengan fâhisyah. Syahrur jelas tidak bermaksud menghalalkan zina.
Ketika beliau diwancarai di salah satu channel TV Abu Dabi’, beliau dengan tegas menyatakan bahwa tuduhan yang menyatakan dirinya menghalalkan zina adalah samasekali kebohongan, (hadza ithlâqan iftira’ ).
Lalu di mana letak kelemahan pemikiran Syahrur tersebut?
Ada beberapa kritik yang dapat penulis kemukakan, yaitu:
1. Kritik Ontologis
Terkait dengan asumsi dasar Syahrur bahwa tidak ada konsep naskh dalam al-Qur’an. Syahrur masih menganggap bahwa ayat Milkul Yamin yang disebut 15 kali dalam al-Qur’an sebagai ayat yang muhkam, dan tidak dapat di-naskh, baik naskh bacaan maupun naskh hukumnya.
Padahal menurut para ulama, seperti Mahmud Muhammad Thaha dalam kitabnya, al-Risâlah al-Tsaniyah bahwa ayat tentang Milkul Yamin (perbudakan) adalah ayat hukumnya sudah di naskh, karena bertentangan dengan spirit al-Qur’an yang menjunjung tinggi harkat martabat manusia. Begitu juga jika ayat tersebut, Milk Yamin dibaca dengan teori double movement Fazlur Rahman.
Sayangnya, Syahrur masih menganggap teks Qur’an tentang Milkul Yamin sebagai sesuatu yang tsabat (tetap) yang juga harus dieksekusi dalam konteks kontemporer dewasa ini. Lalu beliau mencoba menafsirkan bahwa Milkul Yamin, bukan budak, tapi partner hubungan seks di luar pernikahan yang konvensional.
Tapi ingat, bahwa Syahrur memberikan ketentuan dan syarat. Misalnya, harus tetap ada akad (kontrak), tidak boleh dilakukan dengan perempuan yang ada hubungan mahram, tidak homo/lesbi, hubungan seksnya juga tidak boleh dipertontonkan kapada orang lain, tidak boleh dengan perempuan yang menjadi istri orang lain.
Hemat penulis, teks al-Qur’an tentang Milk Yamin tersebut juga ‘dibentuk’ atau lebih tepatnya merespon realitas sosial-historis saat itu. Atau dalam bahasa para ulama; bayan lil wâqi’ . Ia hadir sebagai social mechanisme untuk merespon problem sosial dan situasi konteks Arab, di saat sistem perbudakan masih mengakar kuat (deep rooted). Bahkan bukan hanya di masyarakat bangsa Arab, tetapi juga bangsa-bangsa lain, seperti Yunani, Romawi Persia, Babilonia. Jadi, tradisi milkul yamin sesungguhnya bukan ajaran al-Qur’an. Al-Qur’an justru ingin menghapuskannya.
Al-Qur’an hadir bukan untuk melanggengkan sistem perbudakan, apapun jenis dan model perbudakannya. Sebab al-Qur’an adalah kitab suci sumber inspirasi dan advokasi untuk kaum lemah mustad’afin, salah satunya adalah budak. Maka, memfungsingkan kembali ayat Milkul Yamin di era kontemporer ini sama dengan melanggengkan sistem perbudakan baru, dan itu artinya kita mundur kembali secara moral dan peradaban.