Malam tahun baru Islam 1441H saat ini di peringati di Jakarta dan Puncak, Bogor. Di Jakarta begitu meriah dibawah komando Anies, sedangkan di Puncak di bawah komando Bupati Bogor.
Keberanian Anies malam tahun baru ini mengadakan festival, menandakan hilangnya ketakutan rakyat Jakarta, yang di masa Ahok dihinggapi Islamphobia. Islamphobia di negara mayoritas Islam adalah ketololan terbesar dalam sejarah bangsa kita.
Bagimana misalnya orang-orang barat melihat orang Islam takut terhadap Islam di Indonesia yang mayoritas Islam, jika ini terjadi? Betapa aibnya.
Dalam konteks rencana ibukota pindah ke luar Jakarta, maka Jakarta tentu harus dikembalikan kepada Suku Bangsa Betawi. Berbeda dengan New York di negara para imigran, tiada pemiliknya.
Batavia yang berubah menjadi Jakarta adalah milik Bangsa Betawi dan Banten dahulu kala. Selama 74 tahun merdeka, Bangsa Indonesia “meminjam tanah Betawi ini untuk ibukota, sebuah kota “melting pot” semua suku bangsa. Minus beberapa tahun meminjam Jogyakarta.
Setelah kita akan pindah ke Kalimantan, maka Bangsa Indonesia harus mengembalikan semua tanah-tanah ini kepada orang Betawi, dalam pengertian yang lebih ringan adalah menyerahkan kepemimpin Jakarta, paska pindah ibukota, untuk dipimpin keturunan Betawi asli. (Hampir semua Provinsi di Indonesia pasti Gubernurnya dari suku bangsa asli).
Mudah-mudahan, simbolisasi Festival Muharram 1441H ini dapat juga dimaknai sebagai spirit Islam akan dominan di Jakarta ke depan, dan khususnya dijaga oleh masyarakat Betawi nantinya.
Terimakasih Anies
Tentu saja Anies bertanggung jawab memuaskan umat Islam yang mendukungnya menjadi Gubernur di Jakarta. Namun, ummat Islam juga patut berterima kasih kepada Anies yang memimpin langsung syiar Islam di Jakarta.
Sudah terasa dua tahun ini Jakarta merepresentasikan ibukota dengan 87% bangsa berpenduduk Islam. Secara sosiologi, keberadaan Islam dominan harus terjadi di Indonesia. Jika di Papua agama Kristen menuntut dominasi, maka itu juga sebuah keharusan untuk dipenuhi.
Syiar agama diperlukan saat ini untuk menyusun kekuatan Bangsa Indonesia dalam pertarungan global, yang selama 74 tahun terbukti bangsa ini hanya memproduksi segelintir kaum elit kaya raya dan menyisakan dominasi orang-orang miskin. Struktur kemiskinan dan ketertindasan semakin buruk ke luar jawa, sebagaimana dijelaskan dalam teori centrum-pheriperal.
Islam harus menjadi sebuah agama pembebasan dan pembrontakan atas dominasi kapitalis global dan komprador-kompador lokalnya (catatan: Komprador bukan komparador. Rachmawati Sukarnoputri berkali-kali mengingatkan saya tentang kesalahan tulis ini). Orang-orang Islam harus mencatat nama-nama elit yang suka memusuhi kebangkitan Islam. Karena pertarungan dominasi ruang publik adalah masalah panjang dan berkelanjutan.
Saya dan Jumhur yang mungkin masih diduga orang orang sebagai “Islam Semangka”, hanya bisa berterima kasih buat Anies Baswedan, yang telah mengambil jalan beresiko ini. Tentu saja buat kebaikan bangsa bukan sebaliknya.
Terimakasih Bung Anies Baswedan.