KATARSIS.ID – Hidup kita sedikit berbeda dikala pandemi yang bernama corona melanda Indonesia. Tubuh kita harus diasingkan dalam sepetak bangunan yang dinamakan tempat tinggal. Bekerja di rumah, itulah yang menjadi agenda saat pandemi melanda. Namun kebutuhan yang terus bertambah, membuat kita harus menunggu bantuan yang didatangkan dari segala arah.
Bagaikan sebuah kehidupan pasti akan berakhir dengan kematian, begitu pula bantuan yang ada, akan berhenti kapan saja jika waktu telah mengizinkan. Lantas, bagaimana jika sewaktu-waktu bantuan tak lagi berdatangan? Bagaimana keadaan kita saat itu?
Bantuan bisa berhenti kapan saja. Tidak pula peduli keadaan yang kita jalankan, apakah sedang susah ataukah dalam keadaan gembira. Kita pun hanya bisa menebak-nebak dan diam-diam mengkhawatirkan suatu keadaan yang sulit nantinya. Akhirnya kita merasa diri kita terancam dan menjadi jiwa yang amat takut secara berlebihan. Dalam hal ini tentu berbagai tindak kejahatan tidak terelakkan, pencurian, perampokan, bahkan yang kemaren sempat menjadi topik pembicaraan adalah penimbunan masker dan alat kesehatan.
Walaupun begitu kita harus tetap optimis dan menyiapkan segala sesuatunya. Setidaknya kita masih berada dalam posisi nyaman, meskipun kondisi keuangan yang belum stabil, kita masih diberikan berbagai macam bantuan yang bisa meringankan keadaan. Masih cukup waktu bagi kita untuk menyiapkan semuanya. Masih ada waktu bagi kita untuk memanfaatkan beberapa fase bencana untuk diubah menjadi keuntungan ekonomi yang besar. Setidaknya kita berada pada fase kedua dari 4 fase bencana.
Pertama, fase heroik. Pada fase ini kita akan menyaksikan banyak korban bencana terkena dampak dari pandemi corona. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan, pendapatan berkurang, hingga harus belajar mengatur keuangan yang dalam keadaan terjepit. Pada fase ini meluasnya penyebaran corona akan kemana-mana. Di stasiun televisi, berita-berita menampilkan derita korban corona. Di radio kita mendengar peningkatan jumlah korban terpapar corona. Semua tentang corona dan terus membahas topik yang sama.
Sisi baiknya, ketika siaran bencana tersebar meluas banyak orang yang mengulurkan tangan menolong mereka yang kesulitan. Ribuan donatur, dari yang kaya sampai yang hidupnya pas-pasan bergotong royong mengumpulkan iuran sebanyak-banyaknya hingga dirasa pantas untuk disumbangkan. Kita akan melihat banyak makanan datang sendirinya ke setiap sudut perkampungan. Menyusul setelahnya bantuan berupa uang dan sederet kebutuhan yang sekiranya kita perlukan.
Namun yang sering menjadi kendala pada fase ini adalah masalah distribusi bantuan. Seringkali bantuan tak terdistribusi merata, masih banyak orang-orang yang membutuhkan terabaikan, bahkan ada beberapa golongan yang dirasa mampu dalam hal ekonomi, ikut mencicipi bantuan yang dikeluarkan. Mungkin salah satu pokok permasalahan dalam pendistribusian bantuan adalah data. Seringkali pihak pembantu tidak tahu secara peris daerah mana saja yang lebih membutuhkan, bagaimana kondisi ekonomi keluarga A di masa pandemi dibandingkan keluarga B. Hal ini akan semakin diperparah dengan akses jalan yang tidak menguntungkan. Bantuan yang harusnya sampai pada hari senin tertunda sampai hari jumat ataupun sabtu. Atau lebih parah dari itu, tidak ada pendistribusian bantuan sama sekali. Akan tetapi, yang wajib diketahui, bantuan bisa berupa apapun termasuk psikologis untuk menghidupkan optimisme korban.
Data Lembaga Indikator Politik Indonesia menyebutkan 60,3% warga menilai bansos yang diberikan oleh pemerintah kurang atau tidak tepat sasaran. Sementara 25,6% warga menilai distribusi bansos tepat sasaran. Dan sisanya, 4,1% menilai bansos yang diberikan pemerintah tepat sasaran.
Ketika korban mendapat berbagai macam bantuan, korban merasakan beban hidupnya berkurang. Motivasinya kembali bangkit karena ada harapan bahwa mereka tidak sendirian, ada ribuan malaikat kebaikan yang siap menolong mereka. Jika bantuan sudah habis, pihak donatur akan mengirimkan bantuan lagi agar kebutuhan hidupnya tercukupi kembali. Beberapa pihak bahkan bisa memperbaiki hidupnya, menata kembali hamparan ekonomi yang tercecer karena pandemi karena berkah semangat dan bantuan yang ada. Proses inilah yang menandai terjadinya fase kedua bencana, yaitu fase honeymoon.
Fase berikutnya adalah fase terburuk dalam bencana, yaitu fase disillusionment. Di fase ini akan ada banyak masalah yang bermunculan karena para korban sudah mulai ditinggalkan dan terkurangi jumlah simpati pada mereka. Para malaikat yang semula berbaik hati memberikan bantuan dengan serempak memberhentikan distribusi bantuan yang telah mereka jalankan sebelumnya. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana kondisi korban?. Mungkin dari mereka ada yang masih belum siap ditinggalkan. Mereka mulai berputus asa karena kondisi yang kembali sulit dirasa. Ada yang ingin bangkit tapi sumberdaya yang dimiliki tidak cukup membuat mereka berdaya.
Pada masalah virus, permasalahannya tidak sesingkat bencana alam biasa. Virus corona bisa menular kepada setiap manusia yang mana keberadaannya akan sangat lama. Di Indonesia sendiri, jumlah korban terkena virus corona terus mengalami peningkatan yang membuat kita ketar ketir akan bagaimana nasib kita selanjutnya, apakah terkena virus atau merana karena kehabiasan biaya untuk mempertahankan hidup. Oleh karenanya, di fase inilah kita tidak boleh kehilangan semangat. Kita tidak boleh berputus asa dan harus tetap berusaha walaupun keadaannya serba mempersulit kita.
Apabila kita mampu bertahan dari fase ketiga, maka kita dapat melaju ke fase rekonstruksi. Kita akan kembali menyusun puing-puing yang telah rusak. Penanganan secara sistematis dan dan terstruktur akan terjadi di fase ini. Korban akan kembali menemukan pendapatan ekonomi yang selama pandemi hilang tak tentu arah. Korban dapat memenejemen kembali pemasukan dan pengeluaran karena kesetabilan diantara keduanya.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana keadaan kita setelah bantuan ditiadakan?. Jawabannya, tergantung bagaimana sikap kita melalui fase disillusionment. Jika kita mampu melaluinya dengan sukses keadaan kita akan baik-baik saja bahkan bisa jadi lebih baik dari sebelumnya. Namun jika gagal, maka kecemasan dan ketakutan yang akan menguasai diri kita. Kuncinya adalah mengatur strategi, tetap merasa optimis, dan tidak berhenti berusaha. Dengan itulah kita akan keluar dari bencana dalam keadaan baik-baik saja.