Jelang petang di akhir pekan ini, Sabtu (16/2/2019) mendapat alert di gadget sebuah berita yang baru terbit di portal SERUJI. Alert ini saya terima karena berlangganan berita-berita di SERUJI.
Berita yang cukup memprihatinkan soal kondisi ekonomi yang kini lesu, yang berimbas tak hanya di pusat perbelanjaan modren, tapi juga di pasar tradisional yang semakin sepi.
Berita berjudul “Tidak Hanya Mall, Pasar Pun Sepi Karena Ekonomi Lesu dan Daya Beli Anjlok” bisa dibaca di sini.
Ekonomi Lesu dan Daya Beli Turun Tak Perlu Diperbantahkan, Tapi Apa Gagasan Solusinya?
Ini memang realitas. Tentu pengusaha lebih paham yang mereka hadapi sehari-hari. Ekonomi lesu, dan daya beli masyarakat anjlok, hampir di semua lini. Fakta ini tak perlu diperbantahkan kebenarannya.
Yang justru penting sekarang, bagaimana kondisi ini diperbaiki. Apa gagasan solusinya, agar kita tak teperangkap hanya bicarakan masalah tapi tak pernah punya solusinya.
Walau harus diakui, kondisi ekonomi lesu ini tak hanya dialami negeri kita. Hampir merata. Dapat dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia. Bahkan China yang pertumbuhan ekonominya paling agresif 10 tahun terakhir, selalu diatas 6,5 persen. Kini, 2019, hanya mentarget pertumbuhan antara 6-6,5 persen.
Negeri kita tentu dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dunia, karena kita hidup tak sendiri di planet ini. Sehingga di tengah kelesuan dunia tersebut, kita masih mampu bertumbuh 5,15 persen tahun kemarin (meleset dari target 5,4 persen di APBN 2018). Tentu cukup melegakan. Layak juga diapresiasi.
Apa Gagasan Capres dalam Mengatasi Kelesuan Ekonomi dan Daya Beli ini?
Namun, realitas adalah realitas. Tak bisa hanya dipotret lewat angka pertumbuhan ekonomi. Artinya, setidaknya, ada kelompok masyarakat yang terimbas, dan jumlahnya cukup besar, sehingga bisa dilihat dari pusat perbelanjaan yang mulai sepi dan bahkan ada yang berguguran.
Mumpung dalam kontestasi Pilpres 2019, semestinya kedua paslon capres menyampaikan gagasan, solusi apa yang akan dilakukan menghadapi tantangan ke depan.
Apalagi Moody’s, lembaga pemeringkat dunia, dalam rilis terbaru mereka menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019-2020 diprediksi akan cukup tertekan. Di bawah 5 persen.
Apakah kita masih berdebat terhadap realitas, dibanding menawarkan gagasan solusi?